Langkahawal dalam penelitian ini adalah memahami dan mempelajari isi dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Selanjutnya novel Ronggeng Dukuh Paruk didekati dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan strukturalisme dan pendekatan semiotik. Pendekatan strukturalisme menghasilkan insur intrinsik yang berupa tema, alur, latar, dan penokohan.

Unsur Kebahasaan Novel Ronggeng Dukuh Paruk from Unsur Intrinsik Unsur IntrinsikUnsur EkstrinsikUnsur StrukturalUnsur LinguistikUnsur StilistikKesimpulan Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari adalah salah satu novel yang diangkat dari sebuah legenda lokal. Novel ini menceritakan tentang kehidupan masyarakat di sebuah desa bernama Dukuh Paruk. Novel ini menggambarkan kehidupan masyarakat desa yang dipengaruhi oleh budaya dan adat istiadat tradisional. Unsur intrinsik novel ini meliputi alur, latar, tokoh dan tema. Alur novel ini berkisar tentang kisah cinta antara Ronggeng dengan Darsa dan konflik di antara mereka. Latar tempat novel ini berlangsung adalah di Dukuh Paruk, desa yang terletak di tepi hutan Gunung Lawu. Tokoh utama novel ini adalah Ronggeng, Darsa dan Mbojo. Sedangkan tema yang diusung oleh novel ini adalah kisah cinta yang dihantam oleh konflik dan budaya desa. Unsur Ekstrinsik Unsur ekstrinsik novel ini meliputi penulis, penerbit, tahun terbit dan bahasa. Penulis novel ini adalah Ahmad Tohari, seorang sastrawan dan penyair asal Indonesia. Novel ini diterbitkan oleh penerbit Bentang Budaya pada tahun 1987. Novel ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Inggris dan Jepang. Novel ini ditulis dalam bahasa Indonesia yang sederhana dan mudah dipahami. Unsur Struktural Novel Ronggeng Dukuh Paruk memiliki struktur yang cukup kompleks. Novel ini terdiri dari 40 bab yang terbagi menjadi lima bagian. Setiap bagian dibagi lagi menjadi beberapa subbagian. Struktur novel ini memiliki alur maju dan mundur yang memudahkan pembaca untuk memahami konflik dan kejadian dalam novel. Novel ini juga menggunakan konvensi narasi yang khas, yaitu narasi pengamatan, narasi bercerita, dan narasi dialog. Unsur Linguistik Novel Ronggeng Dukuh Paruk memiliki unsur linguistik yang sangat kaya. Novel ini menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami. Kata-kata yang digunakan dalam novel ini cenderung bersifat puitis dan khas, sehingga memberikan kesan khusus pada pembaca. Novel ini juga menggunakan bahasa yang berasal dari berbagai dialek, seperti bahasa Jawa, Sunda, dan Madura. Hal ini membuat novel ini semakin kaya dari segi linguistik. Unsur Stilistik Novel Ronggeng Dukuh Paruk memiliki unsur stilistik yang cukup kaya. Novel ini menggunakan berbagai gaya narasi, seperti gaya klasik, gaya modern, dan gaya lokal. Novel ini juga menggunakan bahasa yang khas dan melodi yang kuat, sehingga memberikan kesan khusus pada pembaca. Novel ini juga menggunakan berbagai macam jenis kalimat, seperti kalimat majemuk, kalimat kompleks, dan kalimat sederhana. Kesimpulan Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari menawarkan banyak unsur kebahasaan yang kaya dan variatif. Novel ini menggunakan bahasa Indonesia yang sederhana dan mudah dipahami. Unsur intrinsik novel ini meliputi alur, latar, tokoh dan tema. Unsur ekstrinsik novel ini meliputi penulis, penerbit, tahun terbit dan bahasa. Struktur novel ini cukup kompleks dan memiliki alur maju dan mundur. Unsur linguistik novel ini sangat kaya dan kaya akan dialek bahasa. Novel ini juga menggunakan berbagai gaya narasi, seperti gaya klasik, gaya modern, dan gaya lokal. Melalui novel ini, Ahmad Tohari berhasil memperkenalkan kepada pembaca berbagai unsur kebahasaan yang kaya dan variatif.

ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana citra perempuan suku Asmat dalam Roman Namaku Teweraut karya Ani Sekarningsih.

Analisis Struktural dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Buku Pertama Dari Trilogi Oleh Ahmad Tohari Nama Luthfia Safitri NIM A1B113221 Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Universitas Lambung Mangkurat Menganalisis novel ronggeng dukuh paruk dengan cara memakai pendekatan struktural berguna untuk memudahkan pembaca dalam hal mencari unsur instrinsik dan ekstrinsik dalam novel tersebut. Novel ini saya unggah memaluli situs internet, berisi 64 halaman. Untuk memaknai isi keseluruhan novel tersebut, berikut analisis strukturalnya. A. Unsur Intrinsik Novel Ronggeng Dukuh Paruk a. Tema Masalah yang dibicarakan dalam cerita Sosok perempuan yang kehidupannya tergoyah karena pengaruh hukum adat di tempat dia tinggal Bukti “ Eh Rasus. Mengapa kau menyebut hal-hal sudah lalu? Aku mengajukan permintaan itu sekarang. Dengar rasus, aku akan berhenti menjadi ronggeng karena aku ingin menjadi istri seorang tentara. Engkaulah orangnya.” Tohari,Ahmad. 200863 “............. bahkan lebih dari itu. Aku akan memberi kesempatan kepada pedukuhanku yang kecil itu kembali kepada keasliannya. Dengan menolak perkawinan yang ditawarkan Srintil, aku memberi sesuatu yang paling berharga bagi Dukuh Paruk Ronggeng!” Tohari,Ahmad, 200864 b. Alur Jalan cerita Maju, mundur, gabungan Bukti alur Maju “ Jadi pada malam yang bening itu, tak ada anak Dukuh Paruk keluar halaman. Setelah menghabiskan sepiring nasi gaplek mereka lebih senang bergulung dalam kain sarung, tidur di atas balai-balai bambu. Mereka akan bangun esok pagi bila sinar matahari menerobos celah dinding dan menyengat diri mereka.” Tohari, Ahmad. 20087 Bukti alur mundur “ Sebelas tahun yang lalu ketika Srintil masih bayi. Dukuh Paruk yang kecil basah kuyup tersiram hujan lebat. Dalam kegelapan yang pekat, pemukiman terpencil itu lengang, amat lengang.” Tohari,Ahmad, 200811 Bukti alur gabungan “ Dukuh Paruk dengan segalan isinya termasuk cerita Nenek itu hanya bisa ku rekam setelah aku dewasa. Apa yang ku alami sejak anak-anak kusimpan dalam ingatan yang serba sederhana.” Tohari,Ahmad, 200817 “ Lebih baik sekarang kuhadapi hal yang lebih nyala. Srintil sudah menjadi Ronggeng di Dukuh Paruk.” Tohari,Ahmad, 200819 “Tahun 1960 wilayah kecamatan Dawuan tidak aman.” Tohari,Ahmad, 200864 “ Sebagai laki-laki usia dua puluh tahun, aku hampir dibuatnya menyerah.” Tohari,Ahmad, 200863 c. Tokoh Orang yang berperan dalam cerita 1. Rasus 9. Nenek Rasus 2. Warta 10. Santayib Ayah Srintil 3. Dursun 11. Istri Santayib Ibu Srintil 4. Srintil 12. Dower 5. Sakarya Kakek Srintil 13. Sulam 6. Ki Secamenggala 14. Siti 7. Kartareja dan Nyai Kartareja 15. Sersan Slamet 8. Sakum 16. Kopral Pujo d. Penokohan/Watak Sifat pemain dalam sebuah novel 1. Rasus bersahabat, penyayang, pendendam, pemberani Bukti bahwa Rasus bersahabat “ Di tepi kampung, tiga orang anak laki-laki sedang bersusah payah mencabut sebatang singkong.” Tohari,Ahmad, 20084 Bukti bahwa Rasus penyayang “ Suatu saat ku bayangkan emak ingin pulang ke Dukuh Paruk.” Tohari,Ahmad, 200849 Bukti bahwa Rasus pendendam “ Nenek menjadi korban balas dendamku terhadap Dukuh Paruk......” Tohari,Ahmad, 200847 Bukti bahwa Rasus pemberani “ Aku mengutuk sengit mengapa kopral Pujo belum juga muncul. Karena tidak sabar menunggu, maka timbul keberanianku” Tohari,Ahmad, 200861 2. Warta bersahabat, perhatian dan penghibur Bukti bahwa Warta bersahabat “ Di tepi kampung, tiga orang anak laki-laki sedang bersusah payah mencabut sebatang singkong.” Tohari,Ahmad, 20084 Bukti bahwa Warta perhatian dan penghibur “Rasus, kau boleh sakit hati. Kau boleh cemburu. Tetapi selagi kau tak mempunyai sebuah ringgit emas, semuanya menjadi sia-sia.” Tohari,Ahmad, 200837 “Tidak apa-apa Warta. Percayalah sahabatku, tak ada yang salah pada diriku. Aku terharu. Suaramu memang bisa membuat siapa pun merasa begitu terharu.” Tohari,Ahmad, 200837 3. Dursun bersahabat Bukti bahwa Dursun bersahabat Di tepi kampung, tiga orang anak laki-laki sedang bersusah payah mencabut sebatang singkong.” Tohari,Ahmad, 20084 4. Srintil Bersahabat, seorang ronggeng, agresif, Dewasa Bukti bahwa Srintil bersahabat “ Sebelum berlari pulang. Srintil minta jaminan besok hari Rasus dan dua orang temannya akan bersedia kembali bermain bersama.” Tohari,Ahmad, 20084 Bukti bahwa Srintil seorang Ronggeng “ ......., Srintil mulai menari. Matanya setengah terpeja. Sakarya yang berdiri di samping Kartsreja memperhatikan ulah cucunya dengan seksama. Dia ingin membuktikan bahwa dalam tubuh Srintil telah bersemayam indang ronggeng.” Tohari,Ahmad, 200810 Bukti bahwa Srintil agresif “ aku tak bergerak sedikit pun ketika Srintil merangkulku, menciumiku. Nafasnya terdengar begitu cepat.” Tohari,Ahmad, 200838 Bukti bahwa Srintil dewasa “ dia tidak mengharapkan uang. Bahkan suatu ketika dia mulai berceloteh tentang bayi, tentang perkawinan.” Tohari,Ahmad, 200853 5. Sakarya Kakek Srintil Penyayang, tega Bukti bahwa Sakarya penyayang “dibawah lampu minyak yang bersinar redup. Sakarya, kamitua di pedukuhan kecil itu masih merenungi ulah cucunya sore tadi.” Tohari,Ahmad, 20088 Bukti bahwa Sakarya tega “Jangkrik!” sahutku dalam hati. “kamu si tua bangka dengan cara memperdagangkan Srintil.” Tohari,Ahmad, 200863 6. Ki Secamenggala nenek moyang asal Dukuh Paruk Buktinya adalah “hanya Sakarya yang cepat tanggap. Kakek Srintil itu percaya penuh Roh Ki Secamenggala telah memasuki tubuh Kartareja.....” Tohari,Ahmad, 200827 7. Kartareja dan Nayi Kartareja mistis, egois Bukti bahwa Kartareja dan Nyai Karateja mistis “Satu hal disembunykan oleh Nyai Kartareja terhadap siapa pun. Itu ketika dia meniuokan mantra pekasih ke ubun-ubun Srintil.” Tohari,Ahmad, 20089 “Tiba giliran bagi Kartareja. Setelah komat-kamit sebentar, laki-laki itu memberi aba-aba....” Tohari,Ahmad, 200826 8. Sakum hebat Bukti bahwa Sakum hebat “ Sakum, dengan mata buta mampu mengikuti secata seksama pagelaran ronggeng.” Tohari,Ahmad, 20089 9. Nenek Rasus linglung Bukti bahwa Nenek Rasus pikun “ Ah, semakin tua nenekku. Kurus dan makin bungkuk. Kasian, Nenek tidak bisa banyak bertanya kepadaku. Linglung dia.” Tohari,Ahmad, 200862 10. Santayib Ayah Srintil bertanggungjawab, keras kepala Bukti bahwa Santayib bertanggungjawab “ Meski Santayiborang yang paling akhir pergi tidur, namun dia pulalah pertama kali terjaga di Dukuh Paruk.....” Tohari,Ahmad, 200812 Bukti bahwa Santayib keras kepala “Kalian, orang Dukuh Paruk. Buka matamu, ini Santayib! Aku telah menelan seraup tempe bongrek yang kalian katakan beracun. Dasar kalian semua, asu buntung! Aku tetap segar bugar meski perutku penuh tempe bingrek. Kalian mau mampus, mampuslah! Jangan katakan tempeku mengandung racun......” Tohari,Ahmad, 200815 11. Istri Santayib Keibuan, prihatin Bukti bahwa Istri Santayib keibuan “ Srintil bayi yang tahu diri. Rupanya dia tahu aku harus melayani sampean setiap pagi.” Tohari,Ahmad, 200812 Bukti bahwa Istri Santayib prihatin “Srintil kang. Bersama siapakah nanti anak kita, kang?” Tohari,Ahmad, 200816 12. Dower mengusahakan segala macam cara Bukti bahwa Dower mengusahakan “ pada saja baru ada dua buah perak. Saya bermaksud menyerahkannya kepadamu sebagai panjar. Masih ada waktu satu hari lagi. Barangkali besok bisa kuperoleh seringgit emas.” Tohari,Ahmad, 200834 “Aku datang lagi kek. Meski bukan sekeping ringgit emas yang kubawa, kuharap engkau mau menerimanya.” Tohari,Ahmad, 200841 13. Sulam penjudi dan berandal, sombong Bukti bahwa Sulam penjudi dan berandal “ Dia juga kenal siapa Sulam adanya; anak seorang lurah kaya dari seberang kampung. Meski sangat muda, Sulam dikenal sebagai penjudi dan berandal.” Tohari,Ahmad, 200842 Bukti bahwa Sulam sombong “ Sebuah pertanyaan yang menghina, kecuali engkau belum mengenalku. Tentu saja aku membawa sebuah ringgit emas. Bukan rupiah perak, apalagi kerbau seperti anak pecikalan ini.” Tohari,Ahmad, 200842 14. Siti alim Bukti bahwa Siti alim “hw, jangan samakan Siti dengan gadis-gadis di Dukuh Paruk. Dia marah karena kau memperlakukannya secara tidak senonoh.” Siti meleparkan singkong ke arah Rasus Tohari,Ahmad, 200850 15. Sersan Slamet penyuruh, tegas Bukti bahwa Sersan Slamet penyuruh “Pekerjaan logam serta barang lainnya diangkat ke atas pundak dan kubawa ke sebuah rumah....” Tohari,Ahmad, 200854 Bukti bahwa Sersan Slamet tegas “Katakan; ya! Kami tentara. Kami memerlukan ketegasan dalam setiap sikap,” kata Sersan Slamet tegas Tohari,Ahmad, 200855 16. Kopral Pujo penakut Bukti bahwa Kopral Pujo penakut “ mengecewakan. Ternyata Kopral Pujo tidak lebih berani daripada aku......” Tohari,Ahmad, 200860 e. Latar Waktu Waktu terjadinya suatu peristiwa dalam sebuah cerita - Sore hari “ ketiganya patuh. Ceria dibawah pohon nangka itu sampai matahari menyentuh garis vakrawala.” Tohari,Ahmad, 20087 - Malam hari “ jadi pada malam yang bening itu, tak ada anak Dukuh Paruk yang keluar halaman...” Tohari,Ahmad, 20087 - Pagi hari “ menjelang fakar tiba, kudengar burung sikakat mencect si rumpun aur di belakang rumah.” Tohari,Ahmad, 200863 f. Latar Tempat Tempat terjadinya suatu peristiwa dalam sebuah cerita - Di bawah Pohon Nangka “ Di pelataran yang membatu di bwah pohon nangka....” Tohari,Ahmad, 20086 - Di Pekuburan Dukuh Paruk“ Selesai bermain satu babak, rombongan ronggeng bergerak menuju pekuburan Dukuh Paruk.....” Tohari,Ahmad, 200826 - Pasar Dawuan “ Pasar Dawuan demi sedikit merenggangkan hubunganku dengan Srintil.” Tohari,Ahmad, 200850 - Di Hutan “ Sampai di Hutan perburuan langsung dimulai....” Tohari,Ahmad, 200856 g. Latar Suasana Suasana yang terjadi dalam sebuah cerita - Ceria “ Ketiganya patuh, ceria di bawah pohon nangka itu berlanjut sampai matahari menyentuh garis cakrawala.” Tohari,Ahmad, 20087 - terkesima “ penonton menunda kedipan mata ketika Srintil bangkit....” Tohari,Ahmad, 200810 - panik “ Dalam haru-biru kepanikan itu kata-kata wuru bongkrek mulai di teriakkan orang.” Tohari,Ahmad, 200813 h. Sudut Pandang Pembawaan suatu cerita - Mulai dari halaman 4 17 Sudut pandang yang di gunakan adalah orang ketiga serba tahu karena dapat dibuktikan seolah-olah pembawa cerita mengetahui apa yang sedang terjadi pada saat itu “Di tepi kampung, tiga orang anak laki-laki bersusah-pauah mencabut sebatang singkong.” Tohari,Ahmad, 20084 - Mulai dari halaman 17 selsai sudut pandang yang digunakan adalah orang pertama sebagai pelaku utama, karena dalam cerita dapat dibuktikan tokoh utama lebih banyak menceritakan tentang kehidupannya sejak kecil hingga akhirnya menjadi dewasa. Sejak Rasus berumur empat belas tahun sampai dia berhasil menjadi tentara di usia dua puluh tahun. i. Gaya bahasa Ciri-ciri pembawaan bahasa yang terdapat dalam cerita Gaya Bahasa yang terlihat dalam novel ini kadang membingungkan, karena terdapat bahasa jawa dan mantra-mantra jawa. Uluk-uluk perkutut manggung Teka saka negndi, Teka saba tanah sabrang Pakanmu apa Pakanku madu tawon Manis madu tawon, Ora manis kaya putuku, Srintil Tohari,Ahmad, 200810 j. Amanat Pesan yang disampaikan pengarang kepada pembaca Jangan gampang terpengaruh dengan keadaan duniawi karena suatu saat penyesalan akan datang dalam hidupmu, segala sesuatu akan kembali kepadaNya. Kehidupan fana dalam hura-hura dunia dapat mencekam masa depanmu! B. Unsur Ekstrinsik Novel Ronggeng Dukuh Paruk a. Keagamaan relegius Dalam novel ini, unsur keagamaan tidak terlalu diperlihatkan karema warga Dukuh Paruk lebih mempercayai adanya nenek moyang dan hal-hal animisme lainnya b. Kebudayaan Dalam novel ini, banyak terdapat unsur kebudayaan seperti menari, menyanyi sambil nyawer, memberikan sesaji kepada nenek moyang c. Sosial Dalam novel ini, unsur sosial kemasyarakatan lebih cenderung ke arah ronggeng. Karena segala sesuatu yang berhubungan dengan hubungan antar manusia lebih diutamakan untuk ronggeng karena bagi mereka, adanya sosok ronggeng merupakan kebanggaan tersendiri di Dukuh Paruk - Latar belakang pengarang Ahmad Tohari adalah sebuah nama besar dan langka di dalam khasanah kesusastraan Indonesia. Dari karya sastra yang saya baca, nama Ahmad Tohari langgeng dan cepat nempel di kalangan pembaca. Ketika mendengar namanya, maka asosiasi yang muncul dari pengarang ini adalah lokalitas, tema keislaman, dan nilai kehidupan kesederhanaan. Ronggeng Dukuh Paruk adalah salah satu bibel Ahmad Tohari. Dengan hadirnya serangkaian karya Ahmad sebagai juru bicara kesusastraan bertema lokal. Pengetahuan Ahmad Tohari mengenai dunia ronggeng dan filosofinya menegaskan bahwa Ahmad Tohari adalah wakil dari suara orang-orang yang satu daerah asalnya.
tokohutama dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari. Penelitian ini menggunakan kajian teori psikologi sastra yang mengkaji unsur kejiwaan para tokoh-tokoh dalam karya sastra. Freud (dalam Ratna, 2011: 62-63) mengatakan struktur kepribadian dibagi menjadi tiga, yaitu: 1) Id adalah dorongan-

Tokoh dalam sebuah novel mempunyai peranan penting, para tokoh dapat menjelaskan bagaiamana kejadian dalam sebuah novel 1 Ahmad Tohari, Ronggeng Dukuh Paruk, Jakarta PT Gramedia Pustaka Utama, 2012, cet 9, h. 165-166. dipaparkan. Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, tokoh utama dalam novel ini adalah Srintil dan Rasus. Mereka mempunyai peranan penting dalam novel, sehingga kejadian dan peristiwa yang terjadi di dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk banyak dipaparkan melalui kedua tokoh utama tersebut. a. Srintil Tokoh utama dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari adalah Srintil. Srintil adalah seorang yatim piatu, sisa sebuah malapetaka, yang membuat banyak anak Dukuh Paruk kehilangan ayah- ibu. Sebelum membahas terkait dengan sifat dan karakter Srintil, peneliti terlebih dahulu membahas tentang makna yang terkandung dari nama “Srintil”. Ali Imron Al-Ma’ruf dalam Novi Anoegrajekti menyatakan mengenai makna nama Srintil, meskipun dari namanya terdengar tidak istimewa bahkan terkesan rendah, sebenarnya memiliki makna yang dalam, simbolis, dan filosofis. Nama Srintil memiliki fungsi sebagai identitas seorang perempuan desa juga memiliki fungsi simbolik. Kata “Srintil” dalam bahasa Jawa berarti kotoran kambing yang wujudnya kebulat-bulatan berwarna hijau tua kehitam-hitaman dan berbau tidak sedap. Meskipun baunya busuk dan wujudnya menjijikan, “Srintil” dapat menjadi pupuk yang mampu menyuburkan tumbuhan-tumbuhan di sekitarnya di tanah yang gersang sekalipun. Artinya, meskipun kotoran kambing itu wujudnya menjijikan dan baunya busuk, Srintil tetap dibutuhkan dan dicari oleh manusia. Jadi, nama Srintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk mengandung makna filosofis yang Begitu kuat pesona ronggeng Srintil bagi masyarakat Dukuh Paruk. Sehingga membuat perempuan atau para istri pun bukannya cemburu atau 2 Novi Anoegrajekti, dkk ed, Ideosinkrasi Pendidikan Karakter melalui Bahasa dan Sastra “Kearifan Lokal pada Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari”, Yogyakarta Keppel Press, 2010. marah melihat suaminya bertayub, melainkan justru bangga jika suuaminya dapat bertayub dengan Srintil. “Nanti kalau Srintil sudah dibenarkan bertayub, suamiku menjadi laki-laki pertama yang menjamahnya,” kata seorang perempuan. “Jangan besar cakap,” kata yang lain. “Pilihan seorang ronggeng akan jatuh pertama pada lelaki yang memberinya uang paling banyak. Dalam hal ini suamiku tak bakal dikalahkan.” “Tetapi suamimu sudah pikun. Baru satu babak menari pinggangnya akan terkena encok….”3 Nama Srintil sebagai tokoh utama sengaja digunakan pengarang sebagai nama yang memiliki makna simbolik sesuai dengan sifatnya yang khas sebagai ronggeng. Srintil menggambarkan perempuan kelas bawah yang dibutuhkan banyak orang baik laki-laki maupun perempuan karena superior Srintil di kalangan warga Dukuh Paruk yang menganggap bahwa Srintil pembawa berkah dan merupakan titisan dari arwah Ki Secamenggala. Srintil digambarkan sebagai seorang gadis yang bercambang halus di pipi, berambut hitam pekat, kulitnya bersih dan berlesung pipi. Gambaran Srintil yang seperti ini menegaskan bahwa Srintil adalah seorang gadis yang cantik baik untuk ukuran Dukuh Paruk maupun luar Dukuh Paruk. Seperti pada kutipan sebagai berikut “…. Dalam waktu sebulan telah terlihat perubahan pada diri Srintil. Rambutnya yang tidak lagi terjerang matahari menjadi hitam pekat dan lebat. Kulitnya bersih dan hidup. Sisik-sisik halus telah hilang. Pipinya bening sehingga aku dapat melihat jaringan halus urat-urat berwarna kebiruan….”4 Srintil juga digambarkan sebagai ronggeng Dukuh Paruk yang sangat menggoda. Hal ini terlihat dalam kutipan sebagai berikut 3 h. 38. 4 “Kalian minta upah apa?” ulang Srintil. Berkata demikian Srintil melangkah ke arah Rasus. Dekat sekali. Tanpa bisa mengelak, Rasus menerima cium pipi. Warta dan Darsun masing- masing mendapat giliran kemudian….Kali ini mereka yang berebut mencium pipi Srintil. Perawan kecil itu melayani bagaimana laiknya seorang ronggeng….”5 “….Mandilah dengan sabun mandiku. Tak usah bayar bila malam nanti kau bukakan pintu bilikmu bagiku. Nah, kemarilah.” Berkata demikian, tangan Pak Simbar menjulur ke arah pinggul Srintil. Aku melihat dengan pasti, Srintil tidak menepiskan tangan laki-laki itu. Bangsat!”6 Kutipan di atas menggambarkan karakter Srintil yang menggoda baik sebelum menjadi ronggeng maupun sesudah menjadi ronggeng. Sifat menggoda sangat wajar dimiliki Srintil karena seorang ronggeng memang gerak-geriknya selalu dilihat dan dinilai masyarakat, sehingga jarang menjadi bahan pembicaraan ke mana pun Srintil pergi. Srintil juga digambarkan sebagai seorang ronggeng yang mempunyai pilihan. Srintil memilih untuk menjadi ronggeng untuk menghapus dosa orang tuanya, Santayib, karena telah meracuni warga Dukuh Paruk dengan tempe bongkrek buatannya. Ketika Srintil melaksanakan upacara bukak-klambu Srintil memilih untuk menyerahkan kegadisannya kepada Rasus, kawannya sejak kecil. Hal ini dilakukan oleh Srintil bukan karena materi, melainkan Srintil berhak mempunyai pilihan kepada siapa dia akan menyerahkan kegadisannya pada upacara bukak- klambu, dan Srintil memilih untuk memberikannya kepada Rasus. Seperti pada kutipan berikut “Aku benci, benci. Lebih baik kuberikan padamu. Rasus, sekarang kau tak boleh menolak seperti kau lakukan tadi siang. Di sini bukan pekuburan. Kita takkan kena kutuk. Kau mau, bukan?”7 5 Ibid., h. 14 6 Ibid., h. 83. 7 Ibid., h. 76. Kutipan di atas menjelaskan bahwa Srintil tidak menyukai upacara bukak-klambu, tetapi Srintil memilih untuk menyerahkan kegadisannya dalam bukak-klambu kepada Rasus. Seiring dengan berjalannya waktu, tokoh Srintil mengalami pendewasaan, sehingga Srintil bukanlah seorang ronggeng yang sembarangan. Srintil digambarkan sebagai ronggeng yang cantik, tetapi tetap berwibawa. Seperti pada kutipan berikut “….Dalam waktu sebulan telah terjadi perubahan pada diri Srintil. Rambutnya yang tidak lagi terjerang terik matahari menjadi hitam pekat dan lebat. Kulitnya bersih dan hidup. Sisik-sisik halus telah hilang. Pipinya bening sehingga aku dapat melihat jaringan halus urat-urat berwarna kebiruan. Debu yang mengendap menjadi daki, lenyap dari betis Srintil. Dan kuanggap luar biasa Nyai Sakarya berhasil mengusir bau busuk yang dulu sering menguap dari lubang telinga Srintil.”8 “…Nyai Kartareja kini memanggil Srintil dengan sebutan jenganten atau setidaknya sampean; suatu pertanda bahwa kedewasaan, tepatnya, kemandirian Srintil telah diakuinya.” “ Semua mata memandang ke arah Srintil. Ini juga peyimpangan. Biasanya Kartareja dan Sakarya berani mengambil keputusan tanpa melihat roman muka Srintil lebih dulu. Tetapi kini bahkan wibawa Srintil mampu mencegah siapa saja yang ingin berkata sugestif. Tiba-tiba mata Srintil memancarkan cahaya kuasa. Wajahnya melukiskan citra keangkuhan.”9 Kutipan di atas, menggambarkan kewibawaan Srintil, dia bukanlah ronggeng sembarangan. Srintil memiliki harga diri yang tinggi untuk ukuran seorang ronggeng. Kewibawaan Srintil bahkan diakui oleh orang- orang di sekitarnya yang selama ini berlaku sembarangan dan tidak menghargai keinginan Srintil. Kejadian keracunan tempe bongkrek yang dilakukan oleh Santayib, orang tua Srintil membuat Srintil harus menerima dosa dan perlakukan yang kurang baik dari warga Dukuh Paruk. Dosa itu kemudian terhapus ketika Srintil dinobatkan menjadi ronggeng. Ronggeng 8 Ibid., h. 36. 9 bagi Dukuh Paruk adalah titisan dari arwah Ki Secamenggala dan dianggap membawa keberkahan. Sehingga, kedudukan Srintil menjadi berubah, orang-orang jadi menyegani Srintil. Kewibawaan Srintil sebagai seorang ronggeng membuat dia menjadi ronggeng yang disegani oleh laki- laki maupun perempuan Dukuh Paruk. Srintil yang dianggap pembawa keberkahan membuat banyak perempuan Dukuh Paruk berusaha sebaik mungkin untuk memanjakan ronggeng cantik tersebut, dan laki-laki Dukuh Paruk berusaha untuk dapat menari atau tidur dengan Srintil. Hal ini membuat kedudukan Srintil menjadi superior di Dukuh Paruk. Warga Dukuh Paruk sangat bangga memiliki ronggeng cantik seperti Srintil. Selain itu, Srintil juga digambarkan sebagai orang yang religius. Hal ini terlihat ketika Srintil tidak pernah lupa ngasrep di hari kelahirannya. Lebih dekat terhadap Tuhan, mematuhi setiap perintah kepercayaannya. Kepribadian Srintil ini terjadi setelah Srintil mengalami masalah yang cukup berat, yakni ketika dia dianggap terlibat oleh PKI yang membuatnya harus terpenjara selama dua tahun. Kejadian itu membuat perubahan yang sangat besar dalam diri Srintil. Srintil sebelum dianggap terlibat kisruh PKI adalah seorang ronggeng yang tenar, cantik, percaya diri, dan berwibawa. Namun, Srintil berubah menjadi pemurung, malu, rendah diri, dan takut terhadap orang-orang di luar Dukuh Paruk setelah Srintil dianggap terlibat dalam kisruh PKI. Srintil menjadi orang yang takut berbuat sesuatu yang dianggap salah dan tidak ingin bertingkah karena merasa malu dirinya telah melakukan kesalahan. Seperti pada kutipan berikut “Jadi Sakarya tidak ikut berhura-hura. Persiapannya menyambut kembali pementasan Srintil lebih ditekankan pada segi kejiwaan. Lebih sering memasang sesaji di dekat makam Ki Secamenggala, lebih banyak terjaga di malam hari serta mengurangi minum-minum. Srintil diperintahkannya dengan sangat ngasrep pada hari kelahirannya.” “Eh lha, Jenganten, Mbok sampean jangan membiarkan diri terkatung-katung. Segala keinginan harus disetiari. Sampean tidak lupa ngasrep pada hari kelahiran?” Srintil diam. “Sampen tidak lupa berpuasa Senin-Kamis?” Srintil masih diam. Oh, kamu, Nyai Kartareja. Jangankan ngasrep dan puasa Senin-Kamis. Setiap saat aku memohon kepada Tuhan, kiranya segera datang laki-laki yang suka mengawiniku….”10 Kutipan di atas menjelaskan bahwa keinginan Srintil sebagai seorang perempuan untuk menjadi perempuan somahan, diperistri, bahagia dalam kehidupan berumah tangga, tetapi karena namanya yang telah tercoreng akibat kisruh PKI membuat Srintil pasrah. Srintil merasa orang- orang menjadi segan mendekati dia, karena takut dianggap terlibat seperti Srintil. Hingga pada akhirnya Srintil merasa dirinya telah diterima kembali dan kesalahannya telah dimaafkan oleh orang-orang setelah Bajus mendekati Srintil. Srintil mulai diterima kembali keberadaannya setelah didekati oleh Bajus, yang bukan karyawan biasa dalam proyek pembangunan irigasi tersebut. Tokoh utama dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah Srintil. Srintil merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadia maupun yang dikenai kejadian, dan selalu berhubungan dengan tokoh-tokoh lain. Setiap kejadian atau peristiwa yang terjadi di dalam novel senantiasa menghadirkan Srintil. Srintil sebagai tokoh utama sangat menentukan perkembangan alur cerita secara keseluruhan. Selain sebagai tokoh utama, Srintil juga dikatergorikan sebagai tokoh protagonis. Srintil digambarkan sebagai tokoh yang menjadi pusat sorotan dalam kisahan dan memiliki hubungan denga tokoh-tokoh lain di dalam novel. Tokoh Srintil adalah tokoh yang keberadaannya untuk mencapai tujuan yang dalam hal ini adalah menjadi ronggeng untuk 10 menghapus dosa masa lalu kedua orang tuanya dan Srintil menghadapi persoalan-persoalan yang muncul ketika Srintil hendak menjadi seorang ronggeng, seperti harus memendam dalam-dalam perasaannya terhadap Rasus, tidak boleh menikah, dan dianggap sebagai sundal oleh orang luar Dukuh Paruk. Persoalan-persoalan yang dialami oleh Srintil disebabkan oleh tokoh antagonis seperti Nyai Kartareja dan Kartareja yang tidak menyetujui kalau anak asuhnya mencintai Rasus dan memilih berhenti menjadi seorang ronggeng. Srintil dapat pula dikategorikan sebagai tokoh kompleks atau tokoh bulat. Srintil sebagai tokoh mengalami perubahan-perubahan dan perkembangan sikap. Perubahan ini terkait dengan keterlibatan Srintil dengan tragedi PKI. Sebelum dianggap terlibat PKI, Srintil merupakan tokoh yang berwibawa, percaya diri, dan periang. Namun, setelah dianggap terlibat PKI Srintil menjadi penakut, pemurung, dan pendiam. Perubahan semacam ini jika dikaji secara dalam merupakan hal yang wajar dan dapat dipertanggungjawabkan secara alur dengan relasi sebab akibat. Srintil merupakan tokoh yang mencerminkan kehidupan manusia yang sesungguhnya yang memiliki berbagai kemungkinan mengalami perubahan sikap dalam diri Srintil menyebabkan Srintil dapat dikategorikan sebagai tokoh kompleks. Tokoh Srintil juga dapat dikategorikan sebagai tokoh dinamis karena Srintil mengalami perubahan watak sejalan dengan perkembangan peristiwa yang dikaisahkan di dalam novel. Sikap dan watak Srintil mengalami perkembangan mulai dari awal, tengah hingga akhir cerita sesuai dengan tuntutan logika cerita secara keseluruhan. b. Rasus Rasus dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad juga menjadi tokoh yang mempunyai peranan penting seperti Srintil. Rasus digambarkan sebagai seorang anak yang selalu membayangkan sosok Emak dalam diri Srintil. Hal ini dikarenakan Rasus harus kehilangan Emak akibat kejadian tempe bongkrek beberapa tahun silam. Rasus yang menyukai Srintil, selalu menggambarkan Emak seperti Srintil, yang mempunyai cambang halus, dan berlesung pipi. Rasus mengagumi Srintil karena sosok Emak terbayang dalam diri Srintil, sehingga Rasus berusaha untuk selalu melindungi dan menyayangi Srintil, hingga Srintil menjadi ronggeng, bayangan akan Emak dalam diri Srintil telah menghilang. Rasus tetap menyayangi dan melindungi Srintil sebagai kawan lama. Terlebih Sakarya memberikan amanat kepada Rasus untuk menjaga Srintil, sehingga Rasus merasa sangat bersalah karena tidak dapat menjaga Srintil dengan baik hingga akhirnya Srintil mennjadi gila karena dikecewakan oleh Bajus. Rasus sangat marah setelah mengetahui bahwa Srintil menjadi gila. Rasus berusaha untuk membawa Srintil berobat dan berharap Srintil sembuh untuk bisa memperbaiki kesalahannya karena tidak menjaga Srintil dengan baik. Seperti pada kutipan berikut “Keris yang kubawa dari rumah masih kuselipkan di ketiakku, rapi tergulung dalam baju. Aku merasa lebih baik menyerahkan benda itu kepada Srintil selagi dia tertidur. Ternyata kesan penyerahan semacam itu, dalam. Sangat dalam. Aku sama sekali tidak merasa menyerahkan sebilah keris kepada seorang ronggeng kecil. Tidak. Yang kuserahi keris itu adalah perempuan sejati, perempuan yang hanya hidup dalam alam angan-angan, yang terwujud dalam diri Srintil yang sedang tidur. Tentu saja perempuan yang kumaksud adalah lembaga yang juga mewakili Emak, walau aku tidak pernah tahu di mana dia berada.“11 Keris yang diberikan oleh Rasus kepada Srintil merupakan tanda bahwa Rasus mengagumi Srintil sehingga Rasus ingin melihat Srintil menari di panggung dengan keris yang sesuai dengan tubuhnya. Keris yang diberikan Rasus bernama Kyai Jaran Guyang, pusaka Dukuh Paruk yang telah lama lenyap. Keris itu merupakan keris pekasih yang dulu menjadi jimat para ronggeng. Keris itu yang akan menjadikan Srintil ronggeng tenar. Rasus memberikan sesuatu yang berharga kepada Srintil. 11 Selain itu, Rasus juga digambarkan sebagai orang yang pandai dan selalu ingin tahu. Bermula ketika Rasus merasa kecewa setelah Srintil menjadi Ronggeng. Rasus banyak belajar mengenai dunia baru di luar Dukuh Paruk. Sifatnya yang selalu ingin tahu membuatnya mengetahui banyak hal, mulai dari adat yang berbeda di luar Dukuh Paruk, pengetahuannya semakin bertambah ketika Rasus menjadi tobang dan diajarkan banyak hal oleh Sersan Slamet. Seperti pada kutipan berikut “Berbagai pengetahuan takkan pernah kudapat bila aku tak berkesempatan mengenal Sersan Slamet. Hanya dua bulan aku belajar membaca dan menulis. Sesudah itu aku mulai berkenalan dengan buku-buku yang berisi pengetahuan umum, wayang, buku sejarah, sampai buku-buku yang berisi pengetahuan umum. Seluk- beluk senjata juga kuperoleh dari sersan yang baik itu. Dari namanya seperti Pietro Beretta, Parabellum, Lee Enfield, Thomson, dan sebagainya.”12 Seperti pada kutipan di atas, Rasus digambarkan sebagai orang yang pandai dan serba ingin tahu. Dalam waktu sebentar Rasus dapat belajar banyak hal sehingga dia bisa meneruskan karirnya dan tidak hanya menjadi tobang, yaitu pesuruh tentara yang bertugas membelikan rokok, menyiapkan makanan, dan membersihkan peralatan militer. Selain memiliki kepandaian, Rasus juga digambarkan sebagai orang yang berani. Hal ini terbukti ketika Rasus berani membunuh penjahat yang ingin mencuri harta Srintil di rumah Nyai Kartareja. Seperti pada kutipan berikut “Penjahat yang berdiri di belakang rumah kelihatan gelisah. Aku mencari sesuatu di tanah. Sebuah batu sudah cukup. Tetapi yang kutemukan sebatang gagang pacul. Ketika perampok membelakangiku, aku maju dengan hati-hati. Pembunuhan kulakukan untuk kali pertama. Aku tidak biasa melihat orang terkapar di tanah. Aku belum pernah melihat bagaimana seorang manusia meregang nyawa. Pengalaman pertama itu membuat aku gemetar. Dan siap lari andaikata tidak tertahan oleh keadaan. Aku mendengar langkah mendekat. Cepat aku mengambil senjata milik orang yang sudah kubunuh. Sebuah Thomson yang tangkainya 12 sudah diganti dengan kayu buatan sendiri. Tak mengapa. Senjata yang telah terkokang itu kugunakan untuk pembunuhan kali kedua.”13 Kutipan tersebut menggambarkan bahwa Rasus berani membunuh dua orang penjahat dan karena keberaniannya itu ia menjadi naik pangkat dan tidak lagi menjadi seorang tobang. Dan karena keberaniannya itu pula membuat Srintil menginginkan Rasus untuk menikahinya. Tetapi karena tanggungjawabnya sebagai seorang tentara dan masih ada kekecewaan di dalam hatinya terhadap Dukuh Paruk membuat Rasus pergi meninggalkan Srintil. Selain memiliki sifat yang berani, Rasus juga sangat taat dalam beribadah dan rendah hati. Hal ini terlihat ketika Rasus pulang ke Dukuh Paruk, meskipun dia sudah menjadi tentara, Rasus tetap mengakui orang- orang Dukuh Paruk sebagai saudaranya. Selain itu, Rasus juga sangat rajin sembahyang. Seperti pada kutipan berikut “Sampean bibiku, pamanku, uwakku, dan sedulurku semua, apakah kalian selamat?” kata Rasus kepada semua orang yang ada di sekelilingnya. Namun, sebutan “sedulur” yang diucapkan Rasus dengan tulus malah mengunci semua mulut orang Dukuh Paruk. Mereka terharu masih diakui saudara oleh Rasus yang tentara, yang kuasa menentukan apakah seseorang harus ditahan atau dibebaskan. Lama tak ada yang bersuara sampai terdengar Sakarya terbatuk dari kursinya.” “Rasus tersenyum melihat ulah Nyai Kartareja berjalan cepat dan girang seperti anak kecil. Handuk disampirkannya pada pelepah pisang di halaman. Baju dan celananya diganti, dan menyisir rambut. Sebuah kain sarung digelar di atas tanah dekat lincak. Rasus bersembahyang.”14 Seperti pada kutipan di atas, tokoh Rasus digambarkan sebagai seorang yang rendah hati, meskipun dia sudah merasa tersakiti oleh Dukuh Paruk. Rasus tetap mengakui Dukuh Paruk sebagai kampungnya dan warganya sebagai saudara-saudaranya. Hal ini membuktikan bahwa Rasus tidak menjadi sombong atau lupa diri meski dia telah menjadi seorang tentara. 13 Ibid., h. 101-102. 14 Ibid., h. 257 & 351. Rasus dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk memiliki kedudukan sebagai tokoh utama. Seperti halnya dengan Srintil, Rasus juga merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Meskipun demikian, Rasus sebagai tokoh utama tidak selalu muncul dalam setiap kejadian yang terjadi di dalam novel, atau tidak langsung ditunjuk dalam setiap bagian di dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, namun ternyata dalam setiap kejadian atau setiap bagian di dalam novel yang tidak menyertakan Rasus. Rasus tetap memiliki keterikatan dengan tokoh utama, Srintil. Misalnya, pada bagian Jantera Bianglala, Rasus sebagai tokoh utama tidak muncul di dalam cerita tetapi tetap dikaitkan dengan konflik batin yang dialami Srintil hingga Srintil menolak untuk naik pentas. Dengan demikian, Rasus dapat dikategorikan sebagai tokoh utama tambahan. Rasus juga dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Rasus merupakan tokoh yang menjadi sorotan kedua setelah tokoh Srintil dan memiliki keterikatan dengan tokoh-tokoh lain dalam novel. Kehadiran sosok Rasus memunculkan konflik batin pada Srintil karena Srintil menyukai Rasus dan Srintil ingin dijadikan istri oleh Rasus tetapi Rasus tahu kalau Srintil milik Dukuh Paruk. Konflik yang dialami tokoh Rasus disebabkan oleh tokoh antagonis, Nyai Kartareja dan Kartareja yang tidak menginginkan Rasus menikah dengan Srintil karena takut anak asuhnya berhenti menjadi seorang ronggeng. Selain itu, Rasus juga merasa kecewa dengan adat Dukuh Paruk yang menjadikan ronggeng sebagai milik umum hingga Rasus tidak dapat berteman lagi dengan Srintil yang telah menjadi ronggeng. Dengan persoalan-persoalan yang dialami oleh Rasus, tokoh Rasus dapat dikategorikan sebagai tokoh protagonis. Rasus juga dikategorikan sebagai tokoh kompleks dan dinamis. Rasus mengalami perubahan dan perkembangan sikap dan watak. Perubahan dan perkembangan sikap Rasus terjadi seiring dengan pendewasaan dan berbagai permasalahan yang dialami Rasus sebagai tokoh kompleks dan dinamis. Perubahan dan perkembangan sikap dan watak Rasus terjadi dari awal cerita yang semula Rasusu digambarkan sebagai tokoh yang rendah diri dan bodoh karena kemiskinan yang terjadi di Dukuh Paruk, lalu sikap Rasus berkembang dan mengalami perubahan menjadi tokoh yang pemberani, pandai, dan bertanggung jawab. Perubahan ini terlihat logis seiring dengan berbagai permasalahan yang menimpa Rasus hingga menyebabkan perubahan dan perkembangan sikap Rasus dalam menghadapi berbagai masalah di hidupnya. Novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari ini juga didukung oleh kehadiran tokoh-tokoh tambahan yang turut berperan dalam novel ini, di antaranya a. Sakarya Tokoh tambahan dalam Ronggeng Dukuh Paruk salah satunya adalah Sakarya. Sakarya memilki sifat yang taat pada aturan-aturan

RonggengDukuh Paruk (1982) penulis Ahmad Tohari infobudaya.net. Novel Indonesia yang ada dalam daftar rekomendasi Mamikos yang pertama adalah Ronggeng Dukuh Paruk (1982) yang menjadi novel laris Indonesia terbaik yang sudah membawa nama sastra Indonesia harum di mata dunia. Novel satu ini berhasil meraih penghargaan Southeast Asian Writer

ArticlePDF Available AbstractMasalah penelitian ini berkaitan dengan produksi dan konstestasi ideologi. Penelitian bertujuan untuk menguraikan struktur ideologi yang diproduksi oleh novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dengan menggunakan teori materialisme historis Terry Eagleton. Teori ini melihat produksi ideologi dari relasi antara konstituen eksternal, konstituen internal teks, dan sejarah. Metode yang digunakan adalah kualitatif yang bersifat deskriptif dengan pengumpulan data menggunakan teknik simak-catat dan studi kepustakaan; analisis data dengan teknik analisis konten. Hasil penelitian membuktikan bahwa novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah 1 artikulasi dari dominasi kekuasaan rezim yang fasis dan otoritarian. Dominasi ideologi rezim kekuasaan cenderung berpihak pada kapitalisme yang feodal, sehingga kaum proletar didiskualifikasi dari penguasaan bahan dan alat produksi, khususnya bahasa, politik, dan ekonomi. Produksi sastra dikontrol secara ketat sebagai legitimasi rezim kekuasaan terhadap ideologi dominan. Melalui pengolahan pengalaman-pengalaman pengarang dalam kondisi tersebut, terjadi penciptaan estetik yang melahirkan novel Ronggeng Dukuh Paruk dengan genre realisme sosial sebagai cara untuk melawan rezim kekuasaan dengan personifikasi tradisi mistis dan lokalitas; dan 2 ideologi teks terikat dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang mengimplikasikan kritik terhadap rezim kekuasaan dengan cara mengontestasikan ideologi humanisme terhadap dikotomi ideologi dominan negara dan komunisme. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa produksi ideologi dengan melihat faktor-faktor historis di luar teks, yang diinteraksikan dengan teks, bersifat resistensi terhadap kemanusiaan dan subversif terhadap formasi sosial. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. , Vol. 31, No. 1, Juni 2019 1ISSN 0854-3283 Print, ISSN 2580-0353 Online MATERIALISME HISTORIS DALAM NOVEL RONGGENG DUKUH PARUKHISTORICAL MATERIALISM IN RONGGENG DUKUH PARUK’S NOVEL Muhammad AlanFakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah MadaJalan Sosio Humaniora, Bulaksumur, Yogyakarta, IndonesiaTelepon 0274 6492599 Faksimile 0274 565223Pos-el muham_alan diterima 31 Maret 2019; direvisi 29 April 2019; disetujui 28 Juni 2019Permalink/DOI penelitian ini berkaitan dengan produksi dan konstestasi ideologi. Penelitian bertujuan untuk menguraikan struktur ideologi yang diproduksi oleh novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari dengan menggunakan teori materialisme historis Terry Eagleton. Teori ini melihat produksi ideologi dari relasi antara konstituen eksternal, konstituen internal teks, dan sejarah. Metode yang digunakan adalah kualitatif yang bersifat deskriptif dengan pengumpulan data menggunakan teknik simak-catat dan studi kepustakaan; analisis data dengan teknik analisis konten. Hasil penelitian membuktikan bahwa novel Ronggeng Dukuh Paruk adalah pertama artikulasi dari dominasi kekuasaan rezim yang fasis dan otoritarian. Dominasi ideologi rezim kekuasaan cenderung berpihak pada kapitalisme yang feodal sehingga kaum proletar didiskualikasi dari penguasaan bahan dan alat produksi, khususnya bahasa, politik, dan ekonomi. Produksi sastra dikontrol secara ketat sebagai legitimasi rezim kekuasaan terhadap ideologi dominan. Melalui pengolahan pengalaman-pengalaman pengarang dalam kondisi tersebut, terjadi penciptaan estetik yang melahirkan novel Ronggeng Dukuh Paruk dengan genre realisme sosial sebagai cara untuk melawan rezim kekuasaan dengan personikasi tradisi mistis dan lokalitas. Kedua, ideologi teks terikat dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang mengimplikasikan kritik terhadap rezim kekuasaan dengan cara mengontestasikan ideologi humanisme terhadap dikotomi ideologi dominan negara dan komunisme. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa produksi ideologi dengan melihat faktor-faktor historis di luar teks, yang diinteraksikan dengan teks, bersifat resistensi terhadap kemanusiaan dan subversif terhadap formasi kunci struktur ideologi, formasi sosial, konstituen eksternal, konstituen internal, materialisme historisAbstractThis research problem is related to the production and contestation of ideological. The research aims to elaborate ideological structure produced by Ahmad Tohari’s novel entitled Ronggeng Dukuh Paruk using the historical materialism theory by Terry Eagleton. This theory looks at the production of ideology from relations between external constituents, internal constituenst ideological text, and history. The method used is qualitative descriptive with data collection using refer and note technique, library research; and data analysis using content analysis technique. The results of the study prove that Ronggeng Dukuh Paruk’s novel were rst articulation of the dominance of the power of fascist and authoritarian regimes. The ideological dominance of the power regime tends to favor the feudal capitalism, so the proletariat was disqualied from the mastery of materials and means of production, especially language, politics, and economics. Literary production was strictly controlled as the regime’s legitimacy 2, Vol. 31, No. 1, Juni 2019Materialisme Historis dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Muhammad Alan ISSN 0854-3283 Print, ISSN 2580-0353 OnlineHalaman 1 — 16of the power over the dominant ideology. Through the processing of the author’s experiences in these conditions, there was the creaton of aesthetics that gave birth to Ronggeng Dukuh Paruk’s novel with the genre of social realism as a way to ght the power regime with its tradition personacation of mystical and locality. Second, text ideology bound to historical events implanting criticism of the power regime by contesting the ideology of humanism against the dichotomy of state ideology and communism. Therefor it can be concluded that the production of ideology by looking of historical factors outside the text, which are interacted with the text, is resistant to humanity and subversive to social ideological structure, social formation, external constituents, internal constituents, historical materialismHow to cite Alan, M. 2019. Materialisme Historis dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk. Aksara, 311, 1-16 DOI Buat Emak 1982, Lintang Kemukus Dini Hari 1985, dan Jentera Bianglala 1986, ketiganya merupakan cerita berkesinambungan yang kemudian menjadi satu yang dikenal dengan Ronggeng Dukuh Paruk selanjutnya disebut RDP. RDP merupakan novel karya Ahmad Tohari, seorang penulis kawakan Indonesia. Ahmad Tohari dikenal karena cerita-ceritanya yang selalu berangkat dari kehidupan wong cilik. Namun, Ahmad Tohari kerap menjalinnya dengan mode kekuasaan dan struktur sosial masyarakat, termasuk RDP. Di balik cerita-cerita tentang kearifan lokal, kebudayaan, terdapat narasi-narasi politik di dalam RDP dengan corak itu merupakan jejaring relasi dalam kelahiran RDP. Bangunan sosial dan kekuasaan memengaruhi RDP bukan hanya untuk lahir, melainkan untuk memproduksi ideologi dan berkontestasi dengan struktur kekuasaan tersebut. Dengan meletakkan RDP sebagai produk ideologi, maka teks-teks RDP akan diletakkan sebagai nilai sejarah yang memiliki kemampuan untuk memasuki medan ideologi. Lebih jauh dari itu, RDP dapat menunjukan cara kerja kekuasaan dalam membangun struktur sosialnya, sekaligus memperlihatkan pengaruhnya terhadap produksi sastra. Cerita RDP berpusat pada dua tokoh bernama Srintil dan Rasus. Keduanya kelak akan menjalani hidup yang sangat berbeda. Srintil akan menjadi ronggeng dari Dukuh Paruk. Profesi ini akan mengantarkan Srintil ke dalam panggung propaganda bagi kaum komunis. Sedangkan Rasus akan menjadi seorang tentara yang juga melihat dan terlibat dalam tragedi komunisme tersebut. Cerita tersebut menjadi pergulatan dari cara pandang RDP terhadap yang berkutat pada novel RDP selama ini telah cukup banyak dengan bermacam paradigma. Sejauh pengamatan penulis, RDP selalu identik dengan kajian sosiologis dan kajian gender. Dalam sudut pandang sosiologis lebih mengarah kepada aspek kebudayaan yang ditinjau dari interpretasi teks semata melalui tokoh dan kondisi yang di alami tokoh Hartono, 2019; Ismawati, 2016; Nurpaisah, Martono, & Seli, 2014; dari sisi gender dan seksualitas dengan melihat konstruksi tokoh-tokoh perempuan yang dioposisikan terhadap konstruksi tokoh laki-laki Mayasari, Rahayu, & Hidayatullah, 2013; Mulyaningsih, 2017; Yunitha, Syam, & Wartiningsih, 2013. Ada pula dari sisi aspek citraan dan karakter personal tokoh Fathurohman, 2013; Harnawil & Martha, 2013, tinjauan stilistika Al-Ma’ruf, 2009; Fathurohman, 2013, ekranisasi atas pengangkatan novel RDP ke dalam lm Inda, 2016, intertekstual Sungkowati, 2010, dan , Vol. 31, No. 1, Juni 2019 3Muhammad Alan Historical Materialism In Ronggeng Dukuh Paruk’s NovelISSN 0854-3283 Print, ISSN 2580-0353 Online Halaman 1 — 16dari aspek sosiologi sastra yang berlingkup umum Amriani, 2014.Penelitian ini menandaskan pada gagasan Terry Eagleton tentang materialisme historis. Dengan begitu penelitian ini akan mengarah kepada bagian sejarah dari pergerakan produksi sastra RDP, implementasi kekuasaan terhadap stuktur sosial, dan cara yang menjadikan RDP sebagai produk sastra sekaligus produk ideologi. Lebih dari itu, melalui materialime historis, struktur ideologi dalam relasi internal teks RDP dan eksternal akan mengurai motif-motif dari hal tersebut, maka diformu-lasikan pertanyaan sebagai berikut bagaimana struktur ideologi dan kontestasinya dalam formasi sosial. Pertanyaan ini akan menga-rahkan penelitian pada konstruksi kekuasaan yang membentuk masyarakat dalam dimensi sosial yang nyata, dan diinteraksikan dengan konstruksi dimensi ksional di dalam teks atau gugahan cerita-cerita RDP. Dengan begitu, dapat ditemukan motif ideologis dari teks-teks RDP dan tujuan untuk mengungkap persebaran dari struktur ideologi yang mendominasi kekua-saan dan jaringan kelas masyarakat, serta sifat resistensi yang dilakukan oleh ini bersumber dari pemikiran Eagleton bahwa karya sastra mengandung ideologi yang diproduksi oleh struktur dan tatanan yang berada di luar teks karya sastra sehingga teks memproduksi ideologinya dari dialektika antara teks karya sastra dan struktur di luar teks karya sastra. Eagleton berangkat dari pemikiran Karl Marx dan Engels yang bertumpu pada superstruktur dan cara produksi bahwa keseluruhan hubungan produksi merupakan basis ekonomi masyarakat yang menentukan pondasi bangunan atas hukum dan politik, dan keberadaan hal tersebut yang menentukan kesadaran manusia Eagleton & Milne, 1996, hlm. 31.Eagleton juga melanjutkan pemikiran dari Raymond William yang menyebut praktik material Eagleton, 1978, hlm. 44 bersumber dari esensi realitas dalam seni, dengan menguraikannya dalam mekanisme pengartikulasian dari skema historis struktur yang memproduksi teks. Hubungan inilah yang menjadi gagasan Eagleton yang dikenal sebagai kritik materialistik historis, yang memusatkan perhatian pada tiga relasi yang inheren, yaitu sejarah, ideologi, dan teks. Eagleton mengabstraksinya secara terstruktur ke dalam konstituen eksternal dan konstituen ekternal teks, antara lain corak produksi umum, ideologi umum, corak produksi sastra, ideologi pengarang, dan ideologi estetis. Aspek internal, antara lain ideologi teks. Hematnya, konstituen ini dapat dipahami sebagai corak produksi umum CPU, yaitu kekuatan di dalam hubungan formasi sosial yang berasal dari produksi material Eagleton, 1978, hlm. 45. Kekuatan yang dimaksud berupa bahan, alat, dan teknik produksi, di dalam serangkai interaksi agen-agen yang terlibat dalam penggunaan dan pengolahan kekuatan tersebut. Kedua, corak produksi sastra CPS, yang dimaksud adalah sastra tulis yang telah menimpa sastra lisan, dalam perjalanan diakronik yang biasanya ditentukan oleh agen yang selamat secara historis Eagleton, 1978, hlm. 46. Corak produksi sastra secara esensial mengandung dominasi antara kesatuan kekuatan dan hubungan sosial produksinya dalam formasi sosial. Kekuatan produksi sastra terdiri dari penerapan tenaga-kerja yang diorganisasikan dalam hubungan produksi’ juru tulis, produsen kolaboratif, organisasi percetakan dan penerbitan ke bahan-bahan produksi tertentu dengan menggunakan instrumen produktif tertentu yang ditentukan. Kekuatan produksi sastra ini menentukan dan terlalu ditentukan oleh cara distribusi, pertukaran, dan konsumsi sastra. Corak produksi sastra ini kemudian dilihat sejauh mana linearitasnya terhadap corak 4, Vol. 31, No. 1, Juni 2019Materialisme Historis dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Muhammad Alan ISSN 0854-3283 Print, ISSN 2580-0353 OnlineHalaman 1 — 16produksi umum Eagleton, 1978, hlm. 45-48. Ketiga, ideologi umum IU yang dipengaruhi dari formasi sosial corak produksi umum, maka akan membentuk ideologi dominan. Namun, ideologi umum bukanlah abstraksi ideal dari corak produksi umum, melainkan ansambel ideologi dari formasi sosialnya. Ini didasari oleh seperangkat wacana tentang nilai, representasi, dan kepercayaan yang relatif koheren, yang direalisasikan pada perangkat material tertentu dan terkait dengan struktur produksi material sehinggamencerminkan hubungan pengalaman individu dengan kondisi sosial mereka untuk menjamin kekeliruan yang berkontribusi pada reproduksi hubungan sosial yang dominan. Inilah yang menghasilkan formasi ideologi umum, yang akan memengaruhi ideologi estetik Eagleton, 1978, hlm. 54. Keempat, ideologi kepengarangan IK adalah cara penulis menyisipkan seperangkat tur “tubuhnya” ke dalam teks, berupa biogra atau habitus. Hal tersebut dilakukan oleh serangkaian faktor kelas sosial, jenis kelamin, kebangsaan, agama, wilayah geogras dan sebagainya. Ideologi kepengarangan tidak dapat disamakan dengan idelogi umum, apalagi dengan ideologi teks. Ideologi umum tentu akan memengaruhi perjalanan hidup pengarang yang memproses pengarang dalam suatu jati diri tertentu. Ideologi teks sendiri bukanlah idelogi pengarang, melainkan pengolahan atas seperangkat konstituen secara estetis dengan bekerja dan berproduksi Eagleton, 1978, hlm. 58-59. Kelima, ideologi estetik IE, yaitu formasi internal kompleks yang memiliki sejumlah subsektor, dan sastra adalah salah satu dari subsektor tersebut. Subsektor sastra dibentuk oleh teori sastra, praktik kritis, tradisi sastra, genre, konvensi, perangkat dan wacana lainnya. Dalam formasi sosial tertentu, ideologi estetik dapat menjadi bagian dari ideologi budaya’ yang termasuk dalam ideologi umum Eagleton, 1978, hlm. 60. Teks sastra bersifat konsumtif karena dibaca bukan sebagai “buku”, melainkan sebagai “teks”, yang dalam ideologi umum sifat konsumtif adalah penilaian massa dan kapitalis, sedangkan dalam ideologi estetik adalah kesejatian dan kemapanan bangunan sastra itu konstituen internal, yaitu ideologi teks IT, dalam hal ini tentu teks sastra yang merupakan produk dari konjungsi tertentu yang telah ditentukan oleh elemen atau formasi yang ditetapkan secara skematis atas faktor eksternal Eagleton, 1978, hlm. 60. Teks demikian dibentuk oleh relasi-relasi secara aktif untuk menentukan faktor penentunya sendiri—sebuah mekanisme yang paling jelas dalam hubungannya dengan ideologi. Hubungan inilah yang sekarang harus bukanlah produksi dalam keadaan diam’. Teks tersusun dan memiliki skema yang saling memengaruhi sampai ideologi dalam teks memiliki jati diri sendiri. Eagleton 1978, hlm. 68 menggambarkannya sebagai 1 Skema produksi ideologi EagletonSejarah adalah produksi teks-teks dramatik yang mengahasilkan dramatik tertentu dalam tubuh masyarakat dan sumbernya adalah ideologi dalam batas-batas yang historis. Teks sastra ternyata dipandang sebagai sesuatu yang dapat memproduksi ideologi sendiri dengan cara yang serupa dengan teks-teks dramatik dan menghasilkan produksi dramatik—dalam cara yang berbeda. Begitu juga hubungan internal teks sastra dengan sejarah. Sejarah merasuki teks sebagai ideologi, sebagai sebuah kehadiran yang ditentukan dan didistorsi oleh absensi sejarah itu karena sifatnya yang lampau dan mustahil untuk dihadirkan Eagleton, 1978, hlm. 72. Hal ini berarti bahwa sejarah hadir di dalam teks bukan sebagai realita secara , Vol. 31, No. 1, Juni 2019 5Muhammad Alan Historical Materialism In Ronggeng Dukuh Paruk’s NovelISSN 0854-3283 Print, ISSN 2580-0353 Online Halaman 1 — 16langsung, tetapi melalui serangkaian proses reproduksi atas realitas/sejarah yang kemudian hadir sebagai ideologi dalam teks. Pemikiran materialistik Eagleton meyakini bahwa kesadaran manusia sebagai produsen, dalam hal ini penulis, lahir dari sejarah dan kondisi sosial dengan adanya kepentingan dalam kelas, berupa dasar ideologi dan ini menggunakan pendekatan metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Mengabstraksi dari Faruk 2017, hlm 22-26 bahwa penelitian ini memiliki tiga langkah. Pertama, penentuan objek material dan objek formal. Objek material dalam penelitian adalah novel RDP karya Ahmad Tohari yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama 2011, dan objek formalnya terkait dengan strktur sosial dan konstruksi ideologi. Kedua, pengumpulan data yang dilakukan dengan studi kepustakaan dan teknik simak-catat. Studi kepustakaan berfungsi untuk menemukan teks-teks sekunder yang memiliki relasi dengan produksi ideologi RDP sebagai teks primer. Peneliti membaca secara intensif, baik teks RDP maupun teks sekunder. Kemudian, data-data yang ditemukan dicatat dalam tabel data. Selanjutnya dilakukan pengklasikasian data-data yang relevan dengan indikator penelitian yang telah dirumuskan berdasarkan masalah dan tujuan penelitian. Langkah ketiga adalah analisis data yang dilakukan dengan teknik content analysis, yaitu peneliti melakukan pemaknaan terhadap teks-teks yang telah diklasikasikan dengan kerangka teori Terry Eagleton. Hal pertama yang dilakukan adalah mengintegrasikan teks primer dan teks sekunder dalam lingkup sejarah untuk menemukan corak produksi kekuasaan dan ideologi dominan. Kedua, menemukan untuk dapat menemukan tindakan resistensi dan ideologi yang dikontestasikan sebagai ideologi perlawanan. HASIL DAN PEMBAHASANRDP yang fakta ksionalnya inheren dengan fakta realitas menjadi satu bagian dari sejarah produksi ideologi di Indonesia. Untuk menjangkau struktur ideologi yang berkelindan di dalam teks RDP, teks itu akan diolah dengan konstituen eksternal yang mendahuluinya dan melingkupinya, sebagaimana tumpuan permasalahan. Oleh karena itu, penemuan disampaikan pada subbab sebagai Dominasi Kekuasaan RezimMerujuk pada tahun terbit dari RDP pertama kali dalam bentuk Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk 1982, 1985, 1986, yakni pada rezim Orde Baru. Pada masa ini dikenal dengan rezim represif yang oleh Feith via Rajab, 2004, hlm. 184 dicirikan dengan pemerintahan pada berbagai level; melibatkan kaum militer; pembangunan diatur oleh teknokrat dan elit birokrasi; dan kekuatan politik masyarakat dibatasi. Penguasaan seluruh elemen berpusat pada kepala negara sehingga rezim menjadi feodal dan otoritarianisme dibahas oleh O’Donnel dengan menyebutnya sebagai otoriter-birokratik, yang dicirikan, antara lain 1 pemerintahan dipegang oleh militer yang berkolaborasi dengan teknokrat sipil; 2 dukungan pengusaha oligopolistik yang bersama negara berkolaborasi dalam pasar internasional; 3 pengambilan keputusan yang birokratik-teknokratik dan sentralistik; dan 4 demobilisasi massa sebagai bentuk pengontrolan oposisi Mas’oed, 1989, hlm. 10. Melalui serangkaian mekanisme ini, Orde Baru melakukan legitimasi dengan prinsip developmentalism atau ideologi pembangunan. Developmentalism ini bergerak dalam arus yang otoritarianisme. Hal yang paling mencolok tampak pada tubuh militer yang diperku at dengan dwifungsi ABRI , dan penguasaan birokratik untuk memenangkan partai Golongan Karya—sebagai partai milik 6, Vol. 31, No. 1, Juni 2019Materialisme Historis dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Muhammad Alan ISSN 0854-3283 Print, ISSN 2580-0353 OnlineHalaman 1 — 16penguasa. Peran Golkar sebagai kendaraan politik Orde Baru juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Pada tahun 1971 menunjukkan besarnya dukungan rakyat terhadap Golkar. Hal tersebut berdampak drastis pada menurunnya minat dan keinginan dari organisasi-organisasi sipil yang cukup terorganisir untuk berdiri sebagai oposisi terhadap rezim yang berkuasa. Selain dengan penguasaan kursi pe r p ol i t ik a n , ke u a ng a n n asi o nal d a n pasar ekonomi negara mesti dikendalikan dengan kebijakan terhadap pers. Hal ini dengan menekankan pada konsep “SARA” sebagai propaganda. Hal-hal yang sifatnya menyinggung persoalan SARA akan dihalau dengan pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers SIUPP sehingga media massa tidak dapat melaporkannya. Penguasaan dan dominasi Orde Baru atas berbagai media massa, semakin membuat arus propaganda yang menyebar ke tengah masyarakat menjadi tidak terbendung. Media cetak dan elektronik seperti televisi seakan tidak kuasa melakukan penolakan untuk menjadi corong pemerintah Orde Baru dengan berbagai agenda pada CPU ini tampil dalam RDP melalui penggambaran tentara yang dianggap sebagai profesi yang luar biasa. Sebagaimana Rasus yang kemudian dipandang dengan terhormat oleh masyarakat Dukuh Paruk. Selain itu, kontrol terhadap partai sebagai sarana ideologi pun telah menempatkan oposisi sebagai subordinat yang ditampilkan melalui kehadiran PKI dan orang Dukuh Paruk memperlihatkan gambaran berbagai. Namun satu hal yang pasti. Sinar mata mereka adalah bukti kebanggan, dari rahim Dukuh Paruk telah lahir seorang tentara Tohari, 2011, hlm. 264.Srintil mendapat julukan baru yang cepat menjadi tenar. Ronggeng Rakyat. Sebutan ronggeng Dukuh Paruk kian tersingkir Tohari, 2011, hlm. 232.Dua kutipan di atas, yang pertama meng-gambarkan posisi Rasus sebagai tentara. Yang kedua menggambarkan posisi Srintil dengan identitasnya sebagai ronggeng rakyat. Ronggeng rakyat merupakn istilah yang digunakan Lekra dan PKI untuk menyebut kesenian rakyat yang merupakan cara dari mobilisasi massa. Karena keterlibatan Srintil, ia dan kelompok ronggengnya dipenjara. Pada masa-masa Orde Baru, keberadaan militer diperintah untuk menangkap seluruh orang-orang yang teridentikasi sebagai komunis. Komunis dianggap sebagai oposisi dari partai tunggal penguasa, sekaligus oposisi dari kekuasaan. Representasi dari pengusaha oligopolistik ditampilkan dalam sajian pembagian-pem-bagian proyek. Hal itu ditunjukkan ketika tokoh bernama Bajus berniat menyerahkan Srintil kepada seorang konglomerat bernama Pak Blengur. “Dasar recehan kamu. Tentu saja proyek itu tetap untukmu. Sekarang sana keluar. Antar Srintil pulang” Tohari, 2011, hlm. 385.Kutipan di atas menunjukkan bahwa RDP telah menyerap CPU dari kekuasaan rezim Orde Baru yang menguasai seluruh sektor. CPU mendorong RDP untuk membangun sebuah dimensi sosial yang menunjukkan betapa besarnya pengaruh dari dominasi kekuasaan Rezim. RDP tidak dapat melepaskan diri dari faktor tersebut. Bahkan sampai pada media pers yang tidak pernah hadir dalam konteks RDP serangkaian sistem itu, Orde Baru telah membentuk kelas masyarakat menjadi empat kelas, 1 penguasa atau pemerintah; 2 priayi atau bangsawan; 3 masyarakat menengah; dan 4 masyarakat bawah. Perlu dibedakan penguasa dan priyayi, bahwa atas dasar kekuasaan yang begitu besar penguasa telah membedakan dirinya dari masyarakat lain. Priayi sendiri adalah masyarakat bangsawan , Vol. 31, No. 1, Juni 2019 7Muhammad Alan Historical Materialism In Ronggeng Dukuh Paruk’s NovelISSN 0854-3283 Print, ISSN 2580-0353 Online Halaman 1 — 16atau pengusaha yang memegang kontrol atas beberapa produksi tetapi masih dalam dominasi penguasa/pemerintah. Masyarakat menengah, terdiri dari kaum biasa seperti pegawai biasa, kades, dan setaranya. Masyarakat bawah terdiri atas kaum buruh, petani, dan masyarakat miskin lainnya. Inilah struktur yang kemudian terus dipertahankan Orde di Indonesia dimaterialkan dengan keberadaan keuangan yang kuasa; militer, partai tunggal, dan kapitalisme dalam serangkaian praktik ekonomi-politiknya. Hal ini membentuk relasi jaringan sosial kelas bawah, yang pengontrolan terhadap pers menjadikan produksi sastra sebagai jalan untuk daulat rakyat dan bernegosiasi dalam kontestasi ideologi, lebih jauh kontestasi kekuasaan. Tidak lain relasi ini secara mandiri demi mengambil hak atas bahan, alat, dan teknik produksi yang selama ini dikuasai oleh orang-orang tertentu Penerbitan Buku dan Penertiban Buku Produsen, atau penulis, dalam melakukan produksi teks akan melewati proses pengolahan bahan mentah, seperti sejarah, tradisi, organisasi, ideologi, masalah sosial, dan perangkat pengalaman lain yang diela-borasinya. Dengan menggunakan konvensi sastra, penulis melakukan produksi teks sastra, maka karya sastra bukanlah proses ekspresi bahasa dari penulis semata, tetapi proses produksi rumit serangkaian faktor di luar diri penulis. Proses produksi tidak serta-merta menentukan segalanya, sebab adanya proses distribusi dan konsumsi. CPS dipengaruhi oleh CPU, yang dalam pengontrolan pers dan media, termasuk penerbitan dan persebaran buku-buku diteropong dengan saksama oleh negara. Vickers 2011 menggambarkan bahwa transisi orde lama ke Orde Baru bersifat kontinuitas. Dalam hal ini, gejala CPU ditandai dengan pasar kapitalistik, maka CPS melanjutkan gerakan otoritasi atas lembaga penerbitan dan perbukuan dari orde lama ke Orde Baru dengan sistem secara lebih radikal. Penguasaan distribusi dan konsumsi atas literasi di Indonesia menghomogenkan paham yang ditetapkan oleh 15 Januari 1974, 12 surat kabar dan majalah diberedel karena mengganggu politik penguasa Khairuddin, 2015. Kekuatan komunis melalui Lekra sempat menunjukkan eksistensinya melalui seni dan buku-buku. Lekra yang diduga terlibat dalam kudeta komunisme 1965 mengalami keterpurukan atas Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No. 1381/1965, yang melarang buku-buku Lekra beredar di pasaran Kartikasari, 2014. Di sisi lain, buku-buku dari kalangan organisasi Islam pun mengalami hal yang sama, seperti Emha Ainun Nadjib dan Mustofa Bisri, termasuk dengan Ahmad Tohari. RDP yang terbit pertama kali secara terpisah mendapatkan sensor pada beberapa bagian yang mengandung unsur komunisme dengan cerita-cerita Lekra dan penangkapan warga Dukuh Paruk yang dianggap atau dituduh bekerja sama dengan Faruk 2016, hlm. 57 mengatakan bahwa fakta kemanusian terdiri atas fakta individual dan fakta sosial, yakni fakta sosial memiliki peranan dalam sejarah yang memengaruhi hubungan sosial, ekonomi, maupun politik. Dalam penggambaran itu, fakta sosial dalam tulisan diresap menjadi ksi karena memiliki acuan ke dunia sosial; bahasa sebagai materi pun mengacu kepada dunia sosial; termasuk rekaan dalam teks sastra Faruk, 2016, hlm. 48-52. Dalil ksional selain memiliki kekuatan ke arah sosial, ia memiliki sifat resistensi atas ketatnya penertiban dari penerbitan buku-buku. Teks dicirikan dengan pengalihan bahasa ksi yang samar. Pemilihan diksi yang tepat dan rekayasa kontekstual cerita adalah salah satu cara bagi penulis untuk dapat lolos dari sensor 8, Vol. 31, No. 1, Juni 2019Materialisme Historis dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Muhammad Alan ISSN 0854-3283 Print, ISSN 2580-0353 OnlineHalaman 1 — 16badan penertiban di bawah rezim kekuasaan. Selain itu, jaringan yang kokoh yang terbangun di kalangan masyarakat bawah berelasi dengan kekuatan masyarakat priyayi atau bangsawan yang berdiri sebagai oposisi. Dalam hal ini kekuatan komunis dan masyarakat Islam pada saat itu dinilai paling mengancam ideologi dominan kapitalisme, alih-alih adalah kekuasaan. Oleh karena itu, corak produksi sastra di Indonesia pada masa itu cenderung melibatkan komunisme atau ormas Islam, bahkan cenderung meng—kambinghitamkan keduanya itu, setelah melakukan nasionalisasi Balai Pustaka, penerbit-penerbit lainnya dianggap membawa arah perbukuan sastra Indonesia, semisal kelahiran dari Dewan Ke-senian Jakarta dan penerbitan hasil sayembara oleh Pustaka Jaya. Sampai akhirnya kemunculan Kelompok Kompas Gramedia. Namun, proses produksi ini justru menimbulkan masalah kompleks, khususnya bagi penguasa produksi yang teks sastra kerap berisi ideologi-ideologi baru yang dianggap mengancam. Kondisi kemunculan penerbit-penerbit baru memaksa sejumlah tokoh intelektual dan penulis melakukan gerakan, dengan kesadaran kolektifnya masing-masing perlu rasanya melakukan kritik. Teks-teks dan sejumlah narasi muncul, bukan sebagai ekspresi ideologi tetapi teks itulah produk dari ideologi Eagleton, 1978, hlm. 29. Namun, praktik produksi ini tidak mendapat kesempatan untuk berproduksi secara konkret, seluruh produk dikontrol dan kuasai oleh penguasa. Hal ini, dijalankan dengan dalil untuk menjaga stabilitas dibuktikan dengan terbitnya RDP dengan citra realisme sosial yang berpotensi melawan hegemoni. Untuk itu penguasa melakukan sensor sebagai regulasi dan normalisasi ideologi. RDP sendiri baru terbit secara utuh pada 2003 oleh Gramedia Pustaka Utama, dengan menyatukan seluruh triloginya dan memasukkan teks-teks sensor. Inilah yang membentuk CPS di Indonesia pada kala itu menjadi realisme sosial dan kisah-kisah yang gelap, miskin moral, tidak teratur, tetapi menakutkan bagi Rezim Kapitalistik dan FeodalIdeologi umum IU merupakan dominasi atas ideologi-ideologi sosial. Perjalanan IU mendapat pengaruh dari atau diproduksi oleh corak produksi umum. Eagleton 1978, hlm. 54 mengatakan bahwa ideologi umum menjadi cerminan dari hubungan subjek-subjek dengan kondisi sosialnya. Inilah yang kemudian menjadi relasi sosial dominan pada masyarakat di dalam suatu ideologi—secara kolektif barangkali—di Indonesia dimulai sejak kebangkitan nasional yang ditandai dengan Budi Oetomo pada 1908. Dalam hal ini, lahir pula pada tahun 1912 Indische Partij sebagai partai politik. Muhammadiyah di Yogyakarta meningkatkan kualitas masyarakat Indonesia melalui pengajaran dan pendidikan Islam. Pada tahun 1913 Boemi Poetra di Magelang, dan Nahdlatul Ulama NU pada 1926. Sampai puncaknya adalah ketika di-rumuskannya Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Masyarakat Indonesia saat itu memulai langkah dengan kemunculan ideologi nasio-nalisme, persatuan, dan persatuan, dan gotong royong sebagai cita-cita bangsa masih di-lekatkan pada sekularisme yang merupakan akar dari liberalisme, satu paham yang dibawa oleh pemerintah Hindia Belanda. Ketika nasionalisme hadir sebagai slogan bangsa Indonesia, tetapi belum ada kebebasan secara individual. Dari persatuan dan kesatuan, gotong royong, cinta tanah air, dan hal semisalnya yang termaktub di dalam Pancasila dijadikan ideologi dasar negara, tetapi tidak representatif di dalam tatanan Orde yang dijalankan Orde Baru sesuai dengan visi Presiden, yakni reformasi , Vol. 31, No. 1, Juni 2019 9Muhammad Alan Historical Materialism In Ronggeng Dukuh Paruk’s NovelISSN 0854-3283 Print, ISSN 2580-0353 Online Halaman 1 — 16pembangunan. Namun, pada praktik ke-kuasaan, negara lebih menunjukkan oto ri-tarianisme dan kapitalisme di sektor ekonomi. Dalam melanggengkan ideologi otoriternya, pemerintah dan militer melakukan tindakan inhumanisme dengan pembunuhan dan pemberangusan massal. Oleh sebab itu, ideologi ini cenderung kepada fasisme-feo-dalistik yang merupakan pemberian Jepang. Kondisi ini menyebabkan lahirnya ideologi humanis di kalangan masyarakat. Humanisme memang tidak digerakkan secara masif, tetapi masyarakat mulai menunjukkan kepedulian antarsesamanya, khususnya oleh masyarakat kelas bawah. Masyarakat ini kemudian mendorong sikap-sikap kritis. Meskipun kritis artinya melawan, dan akan berhadapan dengan kesewenang-wenangan. RDP menjadi salah satu dari produksi ideologi yang bergerak di paham humanis karena faktor stuktur sosial dan kekuasaan Ahmad Tohari dan Fakta KemanusiaanIdeologi kepengarangan IK dapat dikatakan sebagai sisi pengalaman pengarang yang dicelupkan ke dalam ideologi umum, bukan ideologi teks. Sebagaimana sudah disebutkan bahwa karya sastra bukan ekspresi ideologi tetapi produk dari ideologi. Proses pembentukan ideologi kepengarangan, dalam hal ini, Ahmad Tohari, dipengaruhi oleh ideologi umum di Indonesia. Sejumlah formasi sosial dan fakta kemanusiaan terkumpul di dalam tubuh Ahmad Tohari atau kelas sosialnya yang disebut sebagai subjek kolektif atau trans-individual. Menurut Goldman Faruk, 2016, hlm. 63, mendenisikan subjek trans-individual sebagai hasil aktivitas yang objeknya sekaligus alam semesta dan kelompok cara kerja pengarang me-nerima kondisi historis dan gejala mem-bentuk suatu kolektivitas yang dituliskannya menjadi teks sastra. Teks-teks yang ditulis oleh pengarang akan melahirkan ideologi teks, tetapi teks tersebut bukanlah ideologi pengarang, melainkan cara pengarang me-ngolah ideologi umum menjadi serangkaian teks yang memiliki ideologi. Oleh karena itu, tidak dapat disamakan antara ideologi kepengarangan dan ideologi teks. Ideologi kepengarangan Ahmad Tohari dapat dilihat dari biogra atau perjalanan hidupnya, dan Tohari yang dilahirkan di desa Tinggarjaya, kecamatan Jatilawang, Banyumas, membuatnya hidup dalam masyarakat desa. Hal itu yang membuat Ahmad Tohari selalu mengisi karya-karyanya dengan kehidupan desa, wong cilik, dan kebudayaan lokal. Kelahirannya, pada 13 Juni 1948, yang membuatnya amat akrab dengan nuansa rezim Orde Baru. Cerita-ceritanya tentang kebudayaan lokal, desa, wong cilik, menjadi selalu dekat dengan politik dan kekuasaan Tohari, 2011, hlm. 405. Apalagi fakta bahwa Ahmad Tohari pernah meninggalkan perkerjaannya di Jakarta untuk kembali berada di keasrian desa yang tengah keprihatinan dan kondisi batinnya yang gundah melihat situasi dan kondisi masyarakat di sekitarnya, Ahmad Tohari kemudian mulai menulis karya sastra, dan lahirlah beberapa cerita pendek dan ternyata dengan mudah dimuat di beberapa surat kabar dan majalah yang terbit di Jakarta. Upacara Kecil adalah cerpen pertamanya yang dimuat di media massa. Demikian pula beberapa cerpennya ternyata tidak sulit untuk diterima diberbagai media massa di Jakarta. Kenyataan itu mendorong semangatnya dan berkembanglah rasa percaya dirinya sebagai pengarang. Ia kemudian menulis novel pertamanya Di Kaki Bukit Cibalak yang dimuat secara bersambung di surat kabar harian kompas pada tahun 1979 diterbitkan oleh PT Gramedia, 1986. Pada novel pertamanya, Ahmad Tohari sudah me-nunjukkan komitmennya terhadap wong cilik 10 , Vol. 31, No. 1, Juni 2019Materialisme Historis dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Muhammad Alan ISSN 0854-3283 Print, ISSN 2580-0353 OnlineHalaman 1 — 16yang kepada masyarakat kecil dengan latar desa terlihat semakin kental dalam RDP. Novel yang menjadi tonggak popularitasnya ini menampilkan sosok Sritil dan Rasus dari Dukuh Paruk. RDP telah membuktikan kemampuan Ahmad Tohari dalam berkisah dengan tokoh orang desa dan latar desa dengan menarik. Melalui tokoh orang desa dan latar desa itu, Ahmad Tohari berhasil mengungkap berbagai persoalan kemanusiaan, seperti kejujuran, kemunakan, keikhlasan, ketertindasan, keterpaksaan, dan cinta kasih serta komitmennya kepada wong cilik yang menjadi karakteristik dalam hampir semua membela kebenaran dan keadilan juga tampak menonjol dalam karya-karyanya. Rasa humanisme Ahmad Tohari terhadap masyarakat memang lahir dari pengalaman-pengalaman hidupnya di antara masyarakat desa dan tegangan kekuasaan Orde Cara Kritik Melalui Lokalitas, Mitos, dan Tradisi Penerbitan buku dalam rezim Orde Baru begitu ketat karena rezim menguasai Corak Produksi Sastra CPS. Untuk itu diperlukan strategi untuk dapat menembusnya. RDP hadir dengan cara-cara tertentu, yaitu dengan penyamaran melalui kisah-kisah lokalitas, mitis, dan tradisi. Lokalitas Dukuh Paruk yang merawat mitos tentang Ki Secamenggala sebagai rujukan atas hidup mereka. Tradisi meronggeng dari Dukuh Paruk yang diyakini dapat meningkatkan taraf hidup. RDP hadir karena dorongan formasi sosial dan ideologi kepengarangan Ahmad Tohari. Melihat dari latar belakang Ahmad Tohari, dapat dilihat bagaimana nuansa lokal dari suatu desar hadir dalam burung bangau melayang meniti angin, berputar-putar tinggi di langit. Tanpa sekali pun mengepak sayap, mereka mengapung berjam-jam lamanya. Suaranya melengking seperti keluhan panjang. Air. Kedua unggas itu telah melayang beratus-ratus kilometer mencari genangan air. Telah lama mereka merindukan amparan lumpur tempat mereka mencari mangsa katak, ikan, udang, atau serangga air lainnya Tohari, 2011, hlm. 9.Membaca kutipan di atas mengantarkan pada salah satu bagian yang paling lekat dengan kedesaan, hangat sekaligus miskin. Nuansa yang dibangun oleh RDP cenderung mendekatkan sesuatu yang jauh dari kata pembangunan untuk mendekat pada masyarakat. RDP memperhitungkannya sebagai strategi estetika. Lalu, faktor bagaimana RDP selalu merujuk pada kosmologinya dalam membaca tragedi dan bencana yang menimpa masyarakat Dukuh Paruk. Dengan mengarahkannya pada persoalan abstrak, maka faktor-faktor empirik menjadi lesap. “Jangan-jangan kita melakukan kesalahan. Pentas kita kali ini dilakukan menyimpang adat. Sampean mendengar ucapan-ucapan pengantar acara tadi?” Tohari, 2011, hlm. 188.“Dan ini,” sambung Sakarya. “Bagaimana kalau kita selalu dilarang memasang sesaji! Ini pelanggaran adat yang bukan main. Kartareja, aku amat takut menerima akibatnya” Tohari, 2011, hlm. 229.Dua kutipan tersebut menunjukkan bahwa tragedi yang menimpa masyarakat Dukuh Paruk tidak dideterminasi oleh kekuasaan rezim. Kesalahan-kesalahan dilimpahkan kepada tingkah dan laku diri sendiri sehingga segala bentuk bencana mengarah pada kemarahan dari Ki Secamenggal karena melanggar tradisi. Artinya, ukuran-ukuran kesalahan dibelokkan kepada sesuatu yang bukan realitasnya. Dengan demikian RDP mampu menghindari justikasi kekuasaan. , Vol. 31, No. 1, Juni 2019 11Muhammad Alan Historical Materialism In Ronggeng Dukuh Paruk’s NovelISSN 0854-3283 Print, ISSN 2580-0353 Online Halaman 1 — 16Di luar faktor teks RDP, tradisi kekuasa-an pada masa Orde Baru yang memosisikan komunitas-komunitas sastra sebagai inferior. Dengan represivitas negara, terjadi pergerakan sastra yang mengakomodasi fenomena sosial sebagai perlawanan. Pada masa itu tema-tema karya sastra yang muncul berkutat pada persoalan reinterpretasi budaya dan lokalitas. Ini pula yang ada pada RDP sehingga realitas sosial dalam kerangan penulisan yang mitis, RDP memiliki estetika yang berpotensi untuk melawan Orde Baru juga dinilai sebagai modernitas. Tradisi dalam wilayah dominasi modern dapat dibaca dalam dua model, pertama tradisi digunakan untuk menceritakan sifat kemodernan; kedua tradisi sebagai bagian dari modernitas itu sendiri Faruk, 2001, hlm. 24. Dalam membaca kegunaan tradisi dalam model pertama, kecenderungan pengunaan mitos dan cerita sakral masyarakat primitif dapat menjadi kritik terhadap peradaban, modernitas, yang bergerak dalam jaring kekuasaan. Hegemoni dari sifat rezim yang feodal dan kapitalis dapat disandingkan oleh suguhan cerita lokal dan mitos justru dengan caranya menjadi lawan tanding bagi modernitas Struktur Ideologi dan Kontestasi IdeologiRDP tampil dengan orientasi atas CPU yang feodalistik dan represif. Kepemilikan atas bahan, alat, dan teknik produksi kepada ke-las penguasa, tidak sampai ke Dukuh Paruk. Struktur ideologi yang dibangun RDP muncul dari kekuasaan dan perlawanan, dominan dan subordinat, yang ditunjukkan dalam serang-kaian formasi ideologi negara dan yang melanda Dukuh Paruk sedikit demi sedikit mencair. Dimulai dengan selentingan berita bahwa di Jakarta, sebuah negeri antah berantah bagi orang Dukuh Paruk, telah terjadi pembunuhan-pembunuhan. Pelaku pembunuhan adalah orang-orang semacam Bakar. Korbannya adalah pejabat-pejabat negara. tetapi pada mulanya Dukuh Paruk menampik berita tersebut Tohari, 2011, hlm. 237.Berita tentang Bakar sampai ke Dukuh Paruk seminggu kemudian. Rumahnya habis dimangsa api. Juga beberapa rumah lain milik orang-orangnya. Polisi atau tentara menahan mereka Tohari, 2011, hlm. 238.Kedua kutipan tersebut menggambarkan konik antara negara dan komunis. Orang-orang komunis telah melakukan pembunuhan terhadap pejabat negara yang merupakan makar terhadap negara. Di satu sisi, negara melalui kekuatan militer ditugaskan untuk menangkap siapa pun yang teridentikasi komunis. Negara memiliki ideologi fasisme dan otoritarianisme dengan menggerakkan militer dan melibatkan seluruh pihak tanpa melakukan peninjauan apakah mereka terlkibat atau jelas berseberangan dengan ideologi komunismenya, yang menggerakkan masyarakat kelas bawah untuk ikut serta di barisan mereka untuk melakukan pem-berontakkan. Dalam arus konik tersebut, masyarakat Dukuh Paruk menerima dampak-nya. Dampak tersebut berasal dari betapa mesianistik masyarakat Dukuh Paruk. Kalaulah mau dibuat catatan tentang ideologi dasar orang-orang dusun, maka di sana ada keyakinan mesianistik. Bahwa mereka dalam penantian akan datangnya Ratu Adil. Dari sisi inilah Bakar paling sering muncul Tohari, 2011, hlm. 231.Kutipan di atas menujukkan ideologi masyarakat Dukuh Paruk yang masih diisi dengan mitos. Mitos di satu sisi menjadi cara RDP untuk memperoleh posisinya dalam corak produksi sastra. Di sisi lain, ideologi mesianisme dari masyarakat Dukuh Paruk telah menjebak mereka dalam rantai kebodohan untuk melihat realitas. Bakar mengambil 12 , Vol. 31, No. 1, Juni 2019Materialisme Historis dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Muhammad Alan ISSN 0854-3283 Print, ISSN 2580-0353 OnlineHalaman 1 — 16kesempatan tersebut untuk melakukan politik propagandanya. Dengan konsep Ratu Adil, Bakar menarik masyarakat Dukuh Paruk untuk ikut serta ke rombongan Ronggeng Dukuh Paruk bagian yang pasti rapat-rapat propaganda yang diselenggarakan oleh Bakar beserta orang-orangnya. Rapat selalu berlangsung hingar-bingar. Pengunjung bukan main banyak. Mereka datang demi Bakar atau Srintil. Yang demikian ini tidak penting bagi Bakar. Pokoknya massa amat banyak telah berkumpul dan dia berkesempatan mengola emosi mereka. Hanya emosi, karena seorang dengan kepala penuh teori seperti Bakar pasti tahu bahwa lebih dari itu, tentang kesadaran ideologi misalnya, sulit dimengerti oleh orang-orang dusun. Orang-orang bersahaja itu kebanyakan tidak memiliki sarana batin buat memahami konsep ideologi apapun Tohari, 2011, hlm. 231. Kutipan tersebut memperlihatkan keter-libatan masyarakat Dukuh Paruk dalam ren-cana-rencana komunis. Alih-alih bahwa keter-libatan dari masyarakat Dukuh Paruk dilandasi ketidaktahuan mereka. Komunis sebenarnya juga melakukan hal-hal apa pun untuk menca-pai tujuannya, meskipun harus melewati jalan yang merugikan pihak-pihak lainnya. Seb-agaimana dalam RDP bahwa Bakar melaku-kan propaganda untuk menarik simpatik ma-syarakat Dukuh Paruk dengan melakukan tnah dalam kasus penghancuran makam Ki Secamenggala. Ketika itu, spontan masyarakat Dukuh Paruk melepas seluruh atribut komunis yang dibawa Bakar ke Dukuh Paruk.“He, Darkim! Cabut dan bakar lambang partai di mulut jalan itu. Cabut juga papan nama di depan rumah Kartareja” Tohari, 2011, hlm. 235.Kutipan di atas merupakan perintah spontan Sakarya ketika melihat makam Ki Secamenggala rusak. Memang benar bahwa karena kebodohan yang terus dipelihara me-lalui mesianisme, maka masyarakat Dukuh Paruk selalu berpikir pendek. Ketika mereka baru saja mulai melepaskan identitas komunis yang selama ini melekat pada mereka. Bakar telah membuat tnah dengan meletakkan topi caping hijau di sawah dekat makam Ki Secamenggala. Dengan begitu, kemarahan dari masyarakat Dukuh Paruk menjadi beralih pada komunitas lain. Dan nahasa justru bergabung kembali dengan Bakar dan komunis. Corak pada teks RDP dalam struktur ideologinya, diawali dengan kontestasi antara ideologi negara dan komunis. Masyarakat Dukuh Paruk terpapar kekerasan atas dampak tersebut. Negara yang otoriter pun menangkap masyarakat Dukuh Paruk yang terlibat meronggeng. Mereka dianggap bagian dari komunis. Bahkan, Dukuh Paruk sendiri telah tersignikansi sebagai komunis. Dukuh Paruk sesudah geger komunis 1965 adalah Dukuh Paruk yang sudah dibakar dan hanya tersisa puing-puingnya. Apabila dulu beberapa rumah sudah beratap genting atau seng dengan penerangan lampu pompa, maka sekarang semua rumah sama, gubuk beratap ilalang dengan penerangan pelita di malam hari Tohari, 2011, hlm. 331.“Kamu orang Dukuh Paruk mesti ingat. Kamu bekas PKI! Bila tidak mau menurut akan aku kembalikan kamu ke rumah tahanan. Kamu kira aku tidak bisa melakukannya?” Tohari, 2011, hlm. 383.Pada masa-masa setelah 1965, sebagai-mana kutipan pertama yang menunjukkan bahwa Dukuh Paruk yang miskin telah menjadi lebih miskin. Kemiskinan menye-limuti mereka. Pada kutipan kedua, bahwa masyarakat Dukuh Paruk masih di-pandang sebagai komunis. Hal tersebut telah mempersulit mereka untuk keluar dari , Vol. 31, No. 1, Juni 2019 13Muhammad Alan Historical Materialism In Ronggeng Dukuh Paruk’s NovelISSN 0854-3283 Print, ISSN 2580-0353 Online Halaman 1 — 16dominasi rezim, untuk berkontestasi dalam arena ideologi. Masyarakat Dukuh Paruk telah dialienasi dari tatanan sosialnya dengan kebodohan dan kemiskinannya. Juga, dengan seluruh perangkat sisi lain, kebodohan-kebodohan yang berkelindan dalam masyarakat Dukuh Paruk di gunakan RDP sebagai senjata untuk menun-jukkan otoritas dari rezim represif yang oto-ritarianisme.“Tahan? Kami ditahan?”Srintil mencoba tersenyum sebagai usaha terakhir menolak kenyataan. Tetapi senyum itu berhenti pada gerak bibir seperti orang hendak menangis. Lama sekali wajahnya berubah menjadi topeng dengan garis-garis muka penuh ironi. Topeng itu tidak hilang ketika dua orang berseragam membawanya ke ruang tahanan di belakang kantor. Srintil berjalan tanpa citra kemanusiaan. Tanpa citra akal budi, tanpa roh. Srintil menjadi sosok yang bergerak seperti orang-orangan dihembus angin Tohari, 2011, hlm. 241. Penangkapan Srintil dalam narasi RDP dituliskan secara radikal, bahwa Srintil sama sekali tidak terlibat dalam propaganda dan mobilisasi massa untuk Lekra. Bagi masyarakat Dukuh Paruk, semuanya hanya persoalan meronggeng semata. Namun, penangkapan Srintil dan pelarangan Ronggeng Dukuh Paruk adalah bentuk represif terhadap ideologi yang beroposisi terhadap kekuasaan ideologi dominan. Berkaitan dengan realitas sejarah, narasi tentang pemerintah dan komunisme dituliskan secara mitis dalam tingkah laku dan budaya Dukuh Paruk yang primitif. Namun, apakah masyarakat Dukuh Paruk benar-benar komunisme kiranya masih ambivalensi. Tidak dapat disangkal permasalahan komunisme itu ada, tetapi apakah ada nilai-nilai komunisme yang memang tumbuh sejak dulu, atau hanya dalam kerangka tertentu saja yang sifatnya api dan kesumat bersama-sama telah menunjukkan keangkuhannya di Dukuh Paruk. Tanah air Rasus yang kecil tersungkur ke garis paling tepi dalam lingkaran martabat kemanusiaan. Apabila Dukuh Paruk memang komunis maka kenisbian sejarah, mungkin adalah jawaban yang sedehana dan kena atas pertanyaan mengapa dunia cilik itu tertimpa malapetaka. Tetapi siapa saja yang mau membuat tilikan secara lugas, maka demi kejujuran dia tidak akan berani mengatakan Dukuh Paruk telah komunis. Atau bahkan selamanya Dukuh Paruk tidak bisa menjadi komunis dalam arti yang sebenarnya. Dan apabila hukuman berat yang diterima oleh Dukuh Paruk dianggap sebagai nilai tukar bagi keterlibatannya dalam rapat-rapat propaganda orang-orang komunis, maka cara pembayaran seperti itu adalah ceroboh dan sangat menggemaskan Tohari, 2011, hlm. 260-261.Kutipan tersebut menunjukkan bah-wa terdapat dua kemungkinan, yaitu apakah masyarakat Dukuh Paruk memang ber-ideologi komunis atau hanya menjadi korban komunis, karena kedua hal ini adalah berbeda sama sekali. Menilik persoalan kenisbian sejarah, masyarakat Dukuh Paruk justru bukan komunis sejak lahir, melainkan hanya korban dari komunisme. Hal itu tidak lain karena pemerintah yang mengalienasi Dukuh Paruk atau Dukuh Paruk juga turut mengalienasi dirinya. Kekejaman ganda dengan menjadi korban ideologi dominan penguasa sekaligus. Yang ditunjukkan oleh teks RDP bahwa ketidakmampuan ideologi komunisme melawan ideologi dominan. Bahkan, komunisme menjadi ideologi yang juga represif seperti di sini, dapat diketahui bahwa Dukuh Paruk telah menjadi korban dari per-tarungan antarideologi, termanifestasikan dari ideologi dominan dan komunisme. Ke-bodohan dan kemiskinan Dukuh Paruk yang 14 , Vol. 31, No. 1, Juni 2019Materialisme Historis dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Muhammad Alan ISSN 0854-3283 Print, ISSN 2580-0353 OnlineHalaman 1 — 16menjadi sumbernya, ternyata di satu sisi telah menjadi cara kritiknya. Teks-teks RDP hendak menyajikan cara kerja dari formasi ideologi, yang telah menanggalkan kemanusiaan demi meraih luar masyarakat Dukuh Paruk yang menjadi korban, terdapat Rasus, satu tokoh yang dinilai berhasil bebas dari belenggu tersebut. Rasus memang sejak kecil sudah membangun pikiran tentang betapa bobrok Dukuh Paruk. Mulai dari malam bukak klambu, dan kepercayaan atas mitos lokal dan tradisi. Rasus menjadi gambaran modernitas yang berhasil menjadi sesuatu yang berada di luar Dukuh Paruk. Aku, Rasus, sudah menemukan diriku sendiri. Dukuh Paruk dengan segala sebutan dan penghuninya akan kutinggalkan. Tanah airku yang kecil itu tidak lagi kubenci meskipun dulu aku telah aku telah bersumpah tidak akan memaafkannya karena dia pernah merenggut Srintil dari tanganku. Bahkan lebih dari itu. Aku akan memberikan kesempatan kepada pedukuhanku yang kecil itu kembali kepada keasliannya. Dengan menolak perkawinan yang ditawarkan Srintil, aku memberi sesuatu yang paling berarti bagi Dukuh Paruk ronggeng Tohari, 2011, hlm. 103.Kutipan tersebut menunjukkan dikotomi desa dan kota, kemiskinan dan kekuasaan. Rasus yang memilih untuk pergi dari Dukuh Paruk yang selama ini dianggapnya bodoh dan cabul. Rasus menjadi tentara yang merupakan oposisi dari Dukuh Paruk, bahkan oposisi dari Srintil. Keduanya dibangun dengan cara yang berbeda. Teks-teks RDP merujuk pada oposisi biner itu, bahwa di antara kedesaan dan kebodohan, terdapat yang kota dan dominan. Keduanya terpisah dan menjauh, sebagaimana Srintil dan Rasus. Dalam arti ini, apa yang dicapai oleh Rasus bukanlah pencapaian Dukuh Paruk. Perubahan Rasus bukanlah perubahan Dukuh Paruk. Dukuh Paruk masih sama. Masih Dukuh Paruk yang miskin dan semua hal yang membentuk teks-teks RDP sebagai wujud kemiskinan, kebodohan, korban adalah personalisasi dari teks RDP menunjukkan humanisme dari masyarakat kelas bawah. Cerita-cerita tersebut menjadi latar belakang bahwa apa yang dikandung di dalam teks RDP justru adalah ideologi untuk menyatakan kemerdekaan hak asasi manusia dari segala yang ditunjukkan oleh tokoh Srintil dan masyarakat Dukuh Paruk, dengan segala kekalahannya adalah pertunjukkan kemanusiaan. Eksistensi laten yang hendak dimunculkan adalah humanisme, yaitu ideologi yang dipresentasikan dalam wacana untuk menyadarkan masyarakat. Ideologi untuk dapat bernegosiasi dengan ideologi novel RDP karya Ahmad Tohari telah menunjukkan bahwa terdapat transformasi realitas ke dalam bentuk sastra dengan caranya mengolah konstituen-konstituen eksternal. Realitas sejarah yang hidup mewarnai corak produksi dan ideologi di Indonesia memiliki relasi dengan fakta-fakta di dalam teks tersebut menun-jukkan bahwa produksi ideologi dilakukan oleh penguasa. Ideologi yang diproduksi oleh penguasa adalah kapitalisme-feodalistik. Masyarakat kelas bawah yang berjuang untuk bernegosiasi dengan sejumlah ideologi diberangus oleh otoritarian yang militeristik. Hal ini dengan pemberangusan komunisme dan feminisme. Kontestasi yang dapat dilakukan oleh pihak-pihak Islam dengan mengusung ideologi lahir karena do-rongan untuk melawan produksi kapitalisme dengan mekanisme kontrol kebijakannya di hadapan kemanusiaan. Jalan yang ditempuh dengan produksi dari sisi tradisi, lokal dan , Vol. 31, No. 1, Juni 2019 15Muhammad Alan Historical Materialism In Ronggeng Dukuh Paruk’s NovelISSN 0854-3283 Print, ISSN 2580-0353 Online Halaman 1 — 16mistis untuk melepaskan diri dari kontrol tersebut. Sifat tradisi masyarakat kelas bawah telah membentuk RDP sebagai cerita realisme sosial. Melalui kemiskinan, kebodohan, ketidak-masuk-akalan pikiran-pikiran tokoh-tokoh kelas bawah yang primitif dalam novel RDP, secara tidak langsung yang diproduksi adalah humanisme dan rasa kemanusiaan. Novel RDP telah mengonstruksi ideo-loginya sendiri untuk menyadarkan masyarakat tentang tatanan dan struktur yang ada, sebagai propaganda gerakan humanis. Teks-teks RDP menunjukkan gerakan untuk mendapatkan kemakmuran dan hak asasi PUSTAKAAl-Ma’ruf, A. I. 2009. Kajian Stilistika Aspek Bahasa Figuratif Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari. Kajian Linguistik Dan Sastra, 211, 67–80. Retrieved from H. 2014. Realitas Sosial dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari. Sawerigading, 201, 99–108. Retrieved from T. 1978. Criticism and Ideology A Study in Marxist Literary Theory. London T., & Milne, D. 1996. Marxist Literary Theory. A 2001. Beyond Imagination Sastra Mutakhir dan Ideologi. Yogyakarta Gama Media O 2016. Pengantar Sosiologi Sastra dar Strukturalisme Genetik sampai Post-modernisme IV. Yogyakarta Pustaka 2017. Metode Penelitian Sastra Sebuah Penjelajahan Awal keempat. Yogyakarta Pustaka I. 2013. Aspek Citraan Dalam Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Kajian Stilistika dan Implementasinya Dalam Pembelajaran Sastra di SMK Taman Siswa Banjarnegara. Refleksi Edukatika, 41. & Martha, S. 2013. Citra Tokoh Srintil Dalam Novel Ronggeng DUkuh Paruk Karya Ahmad Tohari. JPBSI Universitas Malang, 1, 12–22. Retrieved from H. 2019. Warna Lokal Jawa Dalam Novel Indonesia Periode 1980-1995. Litera, 142, 392–403. 2016. Adaptasi Novel Ronggeng Dukuh Paruk ke dalam Film Sang Penari sebuah Kajian Ekranisasi. Aksara, 281, 25-38. Retrieved from E. 2013. Karakter Perempuan Jawa Dalam Novel Indonesia Berwarna LOkal Jawa Kajian Perspektif Gender dan Transformasi Budaya. Metasastra Jurnal Penelitian Sastra, 61, 10–21. D. 2014. Pelarangan Buku-buku Karya Sastrawan Lekra Tahun 1965-1968. Avatara, 23, 453–465. Retrieved from F. 2015. Surat Kabar Indonesia. Retrieved from M. 1989. Ekonomi dan Struktur Politik Orde Baru 1966 –1971. Jakarta LP3LS. 16 , Vol. 31, No. 1, Juni 2019Materialisme Historis dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Muhammad Alan ISSN 0854-3283 Print, ISSN 2580-0353 Online Halaman 1 — 16Mayasari, Rahayu, & Hidayatullah, 2013. Gambaran Seksualitas Dalam Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Jilid Catatan Buat Emak Karya Ahmad Tohari. Metasastra Jurnal Penelitian Sastra, 61, 22–33. I. 2017. Kajian Feminis Pada NOvel “Ronggeng DUkuh Paruk” dan “Perempuan Berkalung Sorban.” Indonesian Language Education and Literature, 11. M. & Seli, S. 2014. Nilai Budaya Jawa Dalam Novel Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari. Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran Universitas Tanjungpura, 3, 1–11 . Retrieved from B. 2004. Negara Orde Baru Berdiri Di Atas Sistem Ekonomi Dan Politik Yang Rapuh. Jurnal Sosiohumaniora, 63, 182–202. Y. 2010. Dialog Antarteks Toenggoel Dan Ronggeng Dukuh Paruk Melawan Atau Mengukuhkan Tradisi. Bahasa Dan Seni, 381, 74–83. Retrieved from A. 2011. Ronggeng dukuh Paruk. Jakarta Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Gramedia Pustaka A. 2011. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta Insan R., Syam, C., & Wartiningsih, A. 2013. Ketidakadilan Gender Dalam Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari. Jurnal Pendidikan Dan Pembelajaran Universitas Tanjungpura, 2, 11. Retrieved from ... Sebagaimana pengontrolan yang ketat terhadap pers dan media, penerbitan dan distribusi buku-buku pun diawasi dengan seksama oleh negara. Vickers Alfian, 2019 menjelaskan bahwa transisi pemerintahan sebelumnya ke Orde Baru bersifat kontinuitas, dalam arti gejala Corak Produksi Umum ditandai dengan pasar kapitalistik yang berakibat pada Corak Produksi Sastra yang melanjutkan gerakan otoritasi atas lembaga penerbitan dan perbukuan dengan sistem yang lebih radikal. ...... Selanjutnya, berturut-turut Muhammadiyah di Yogyakarta, Boemi Poetra di Magelang, Nahdlatul Ulama di Jombang, hingga puncaknya adalah dirumuskannya Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928. Masyarakat Indonesia saat itu memulai langkah dengan kemunculan ideologi nasionalisme, persatuan, dan gotong-royong Alfian, 2019. ... Ilham RabbaniHatindriya HangganararasThe poetry book “99 untuk Tuhanku” which was first published in 1983 by Penerbit Pustaka – Perpustakaan Salman ITB Bandung, is the work of Emha Ainun Nadjib EAN, a well-known writer from Indonesia. The figure of EAN is known for his writings, whether in the form of essays, prose, drama scripts, or poems that are religious, but at the same time critical in looking at the problems of life, including against power in Indonesia. This paper aims to dismantle the EAN Authorial Ideology in poetry book “99 untuk Tuhanku” by using the materialistic literary theory by Terry Eagleton. In dismantling the Authorial Ideology, it will first outline several aspects of external constituents such as the General Mode of Production, Literary Mode of Production, and General Ideology. The research method used is descriptive qualitative. The research results obtained are the Authorial Ideology produced by EAN is humanism-religious and sufism. Meanwhile, the ideology of the New Order regime General Ideology is authoritarianism, militarism, and capitalism. The ideology that was contested by EAN, instead of being a resistance ideology for power, has the potential to become an adaptive ideology and potentially perpetuate the dominance of the New Order Purnami Dedi PramonoThe background of this research is the significance of women’s awareness in the construction of women’s existence including the existence of women characters in a novel. This research is aimed to discover the types of women’s marginalization in Seno Gumira Ajidarma’s Kitab Omong Kosongand to find the model of women’s resistance as the manifestation of existence. The reference theory of women’s existance is a feminist theory proposed by France feminist, Simone de Beauvoir. In this research, Ajidarma’s Kitab Omong Kosongis used as the data source, while the Beauvoir’s theory is adopted as the object. This is a descriptive-qualitative research using documentation method. In analyzing the data, the techniques used were reading and writing notes, which, then the results of analyzing process were presented descriptively. Those results show that the type of women’s marginalization appeared in Ajidarma’s novel is in the form of women’s position considered low and subordinate, which, then, issues numbers of different forms of violence against women. Then, the resistances of women characters found as the forms of women’s existence in this research are women’s struggle for intellectuality, women’s refusal to be the victim of society, and women’s decision for their own fate. Irfai FathurohmanPenelitian ini mengkaji aspek citraan dalam novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dengan kajian stilistika dan implementasinya sebagai bahan ajar dalam pembelajaran sastra di SMK. Jenis penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Sumber datanya novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari dan data berupa kata, frase, dan kalimat yang mengandung aspek citraan. Teknik pengumpulan data dengan teknik simak catat, dan teknik pustaka. Adapun teknik validasi data menggunakan triangulasi teori. Analisis data menggunakan metode pembacaan model semiotik yakni pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik atau retroaktif. Hasil penelitian terhadap aspek citraan Ronggeng Dukuh Paruk dengan kajian stilistika yakni 1 Citraan penglihatan yang dimanfaatkan untuk melukiskan karakter tokoh, keadaan, suasana, tempat secara plastis dan indah serta untuk melukiskan emosi tokoh, aktivitas yang terjadi dalam cerita. Citraan penglihatan berfungsi sebagai sarana penafsiran, baik penafsiran tokoh, peristiwa, maupun latar yang mendukung cerita. 2 Pemanfaatan citraan pendengaran untuk menggambarkan perilaku atau aktivitas yang dilakukan oleh tokoh dalam cerita serta dapat memaknai situasi yang terjadi. 3 Analisis citraan rabaan digunakan untuk menggambarkan suasana dalam cerita serta mengilustrasikan tempat terjadi cerita dan latar waktu. 4 Penggunaan citraan penciuman berfungsi memudahkan imajinasi pembaca, menggugah pikiran dan perasaan, menghadirkan suasana yang lebih konkret dalam cerita. 5 Citraan gerak digunakan untuk mengilustrasikan suasana yang ada dalam cerita, menimbulkan imajinasi pembaca terhadap apa yang sedang terjadi, menggambarkan aktifitas maupun ekspresi para tokoh dalam cerita. 6 Penggunaan citraan pencecapan digunakan pengarang sebagai respon terhadap rasa oleh indra pengecap. 7 Citraan intelektual digunakan sebagai penyampaian pesan, pelurusan kebenaran, maupun penyampaian pengetahuan baru bagi pembaca. Implementasi aspek citraan sebagai materi ajar di SMK bertujuan untuk mencapai kompetensi pembelajaran dengan kompetensi dasar menyimak untuk memahami secara kreatif teks seni berbahasa dan teks ilmiah sederhana, serta kompetensi dasar mengapresiasi secara lisan teks seni berbahasa dan teks ilmiah sederhana. Materi ajar disajikan dalam bentuk modul pembelajaran. Indrya MulyaningsihLiterary work is a socio-cultural documentation. This is because the socio-cultural influence the creation of works of literature itself. Following the feminist studies on novel Ronggeng Dukuh Paruk and Perempuan Berkalung Surban. The research is a qualitative descriptive analysis technique document. Based on the analysis it can be concluded that the RDP and PBS equally raised about women, especially girls. Ronggeng Dukuh Paruk exploit girls economically while Perempuan Berkalung Surban not provide an opportunity for girls to determine their own lives. Both novels are equally illustrate inequities in Imron Al-Ma’rufTujuan penelitian ini untuk memaparkan bahasa kiasan dan bentuk stilistik dalamnovel Dukuh Paruk RDP dan meneliti fungsi dan tujuan penggunaan bahasa kiasandan bentuk stilistik tersebut sebagai ungkapan penulis dalam menuangkan ini menggunakan metode deskriptif. Data dianalisis secara induktif denganmenerapkan metode membaca semiotik yang bersifat heuristik dan penelitian ini menunjukkan bahasa kiasan RDP memiliki keunikan dan keaslian,yang membuktikan kompetensi Tohari dalam menggunakan bahasa. Keaslian bahasakiasan yang mendominasi RDP dapat dilihat dari gaya majas dan idiom yang indahdan beranekaragam, penuh ekspresif, asosiatif dan memiliki daya estetika. Hal inimenunjukkan bahwa Tohari adalah seorang penulis yang memiliki intelektualitastinggi. Melalui penelitian stilistik, ditarik simpulan bahwa bahasa kiasan RDPmempunyai ekspresif yang kuat sebagai media penuangan ide penulis yang tidakjauh dari latar belakang sosial Kunci stilistika, bahasa figuratif, ronggeng, majas, idiom, HartonoAbstrakPenelitian ini bertujuan mendeskripsikan wujud dan fungsi warna lokal Jawa dalamnovel Indonesia periode 1980-1995. Secara purposif, diperoleh sumber data penelitian,yakni novel Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, Jantera Bianglala AhmadTohari; Para Priyayi Umar Kayam; Burung-Burung Manyar dan Durga Umayi Canting Arswendo Atmowiloto; Pasar Kutowijoyo; dan Tirai MenurunNH. Dini. Pengumpulan data dengan teknik baca dan catat. Analisis data dengan teknikdeskriptif kualitatif. Hasil penelitian sebagai berikut. Pertama, warna lokal Jawa, berupalatar tempat Surakarta, Yogyakarta, Semarang, Magelang, Madiun, Temanggung, danMuntilan; latar waktu hari dan pasaran, Selasa Kliwon, Jumat Kliwon, sepasar, selapan,sewindu, kesenian wayang, ketoprak, tayub, tembang; kepercayaan Islam abangan,kepercayaan pada roh leluhur, mantra dan benda-benda pusaka; status sosial priyayidan wong cilik; penggunaan bahasa bahasa Jawa, penamaan, pasemon; dan penamaantumbuhan dan hewan. Kedua, warna lokal Jawa berfungsi sebagai a masalah pokok yangdiceritakan, b hipogram alur dan tokoh cerita, dan c penguat pelukisan latar kunci warna lokal, novel Indonesia, hipogram, JawaRealitas Sosial dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari. SawerigadingH AmrianiAmriani, H. 2014. Realitas Sosial dalam Novel Ronggeng Dukuh Paruk Karya Ahmad Tohari. Sawerigading, 201, 99-108. Retrieved from http//sawerigading. article/view/2/2Criticism and Ideology A Study in Marxist Literary TheoryT EagletonEagleton, T. 1978. Criticism and Ideology A Study in Marxist Literary Theory. London Sosiologi Sastra dar Strukturalisme Genetik sampai Postmodernisme IVFarukFaruk. 2016. Pengantar Sosiologi Sastra dar Strukturalisme Genetik sampai Postmodernisme IV. Yogyakarta Pustaka Penelitian Sastra Sebuah Penjelajahan Awal keempatFarukFaruk. 2017. Metode Penelitian Sastra Sebuah Penjelajahan Awal keempat.Citra Tokoh Srintil Dalam Novel Ronggeng DUkuh Paruk Karya Ahmad TohariHarnawilS MarthaHarnawil, & Martha, S. 2013. Citra Tokoh Srintil Dalam Novel Ronggeng DUkuh Paruk Karya Ahmad Tohari. JPBSI Universitas Malang, 1, 12-22. Retrieved from do/detail-article/1/47/868Adaptasi Novel Ronggeng Dukuh Paruk ke dalam Film Sang Penari sebuah Kajian EkranisasiD N IndaInda, 2016. Adaptasi Novel Ronggeng Dukuh Paruk ke dalam Film Sang Penari sebuah Kajian Ekranisasi. Aksara, 281, 25-38. Retrieved from http//aksara. issue/view/4.

RonggengDukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari . dan. Jentera Bianglala Karya Ahmad Tohari ". Penelitian tersebut menekankan pada bentuk problem psikologi sosial dan signifikasi problem psikologi sosial yang dialami tokoh utama dalam Novel Trilogi . Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari . dan. Jentera Bianglala Karya Ahmad Tohari,
Unsur intrinsik novel merupakan elemen utama yang membentuk karya itu sendiri. Unsur inilah yang membuat karya sastra hadir sebagai karya sastra unsur-unsur secara faktual akan kamu jumpai jika orang membaca karya sastra. Pada umumnya unsur intrinsik ada 8 diantaranya tema, tokoh dan penokohan, alur, latar waktu, latar tempat, gaya bahasa, sudut pandang dan amanat. Kali ini saya akan membahas mengenai unsur intrinsik novel ronggeng dukuh paruk, beserta unsur ekstrinsik nya. Mari simak penjelasan lengkapnya di bawah ini. Apa Itu Unsur Intrinsik Novel? Sebelum membahas apa saja unsur intrinsik dari novel Ronggeng Dukuh Paruk. Kamu perlu mengetahui apa itu unsur intrinsik novel. Unsur intrinsik novel merupakan bahan penyusunan karya sastra yang bersumber dari karya itu sendiri. Unsur intrinsik harus ada dalam sebuah karya. Jika salah satu unsur tidak di cantumkan maka tulisan tersebut tidak bisa di sebut karya sastra. Jadi unsur intrinsik novel adalah elemen utama yang membentuk karya itu sendiri. Unsur intrinsik novel secara umum terdiri dari tema, tokoh dan penokohan, alur, latar, sudut pandang, gaya bahasa dan amanat. Identitas Novel Ronggeng Dukuh Paruk Novel ronggeng dukuh paruk merupakan novel karya dari Ahmad Tohari yang mulai di terbitkan pada tahun 1982. Novel yang memiliki ketebalan 408 halaman juga ukuran 15×21 cm ini di terbitkan oleg PT. Gramedia Pustaka Utama. Novel ini merupakan novel yang bergenre fiksi romantis yang di dalamnya menceritakan latar sejarah bangsa Indonesia dan kebudayaannya. Unsur Intrinsik Novel Ronggeng Dukuh Paruk Berikut merupakan unsur intrinsik novel ronggeng dukuh paruk, di antaranya adalah 1. Tema Tema yang menonjol dalam novel ronggeng dukuh paruk ini yaitu bertemakan cinta, budaya dan adat istiadat. Novel ini menceritakan tentang adat istiadat dan kebudayaan dan sebuah dukuh yang ada di Banyumas bernama Dukuh Paruk. Selain itu novel ini juga menyelipkan tentang percintaan asmara sang ronggeng dengan pemuda bernama Rasus. 2. Tokoh dan Penokohan Berikut beberapa tokoh yang terdapat dalam novel ronggeng dukuh paruk diantaranya adalah Srintil kecil, ia memiliki sifat yang lucu dan centil. Srinstil dewasa, ia memiliki sifat yang pemilih, penyayang dan juga suka menolong, serta mudah percaya. Rasus kecil, sosok yang tidak sabaran, cerdik, dan emosional. Rasus dewasa, seorang yang pendendam, dan juga pemberani. Warta, ia memiliki sikap pamrih. Darsun, ia sosok yang suka meremehkan sesuatu hal. Sakaraja, ia adalah kakek Srintil yang penyayang, bijaksana dan perhatian. Kartareja, Dukun Ronggeng yang licik dan ambisius. Nyi Kartareja, ia adalah istri kartareja yang sama-sama licik. Sakum, ia merupakan penabuh calung yang buta namun sangat lihai. Santayib, ia merupakan ayah Santayib ia orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak mau disalahkan. Ibu Srintil, ia merupakan sosok istri yang setia. Dower, ia memiliki sikap gigih. Sulam, ia meruapak seseorang yag memiliki sifat perasa. Sersan Slamet, ia baik hati dan tidak memandang rendah orang lain. Kopral Pujo, ia merupakan seseorang yang penakut. Waras, ia merupakan sosok yang seperti anak kecil. Dan masih banyak lagi tokoh lainnya. 3. Alur Alur yang digunakan dalam novel ini yaitu menggunakan alur campuran dimana terdapat alur maju dan alur mundur di dalam ceritanya. 4. Latar Tempat Latar tempat yang digunakan dalam novel ronggeng dukuh paruk yaitu Di Duku Paruk Di tepi kampung Di makam Rumah Kartareja Desa Dawuan Pasar Dawuan Rumah Batu/ Markas Tentara Rumah Nenek Rasun Warung lontong Lapangan kecamatan dawuan Alaswangsal Kantor polisi 5. Latar Waktu Latar waktu yang digunakan dalam novel ronggeng dukuh paruk diantaranya adalah Musim kemarau, sebelas tahun yang lalu, agustus tahun 1963, tahun 1964, februari 1966, tahun 1970. 6. Sudut Pandang Ada beberapa bagian sudut pandang yang terdapat dalam novel ronggeng dukuh paruk diantaranya adalah Bagian satu di catatan buat emak, bagian ini menggunakan sudut pandang orang pertama karena menggunakan kata “aku” yang dimana tokoh aku itu adalah Rasus. Bagian 2 lintang kemukus dinihari, bagian ini menggunakan sudut pandang orang ketiga. Di sini menggunakan kata “dia, -nya dan penyebutan nama tokoh” Bagian 3di Jentera Bianglala, sudut pandang yang digunakan dalam bagian ini juga menggunakan sudut pandang orang ketiga juga. 7. Gaya Bahasa Di dalam novel ronggeng dukuh paruk ini ada beberapa menggunakan bahasa jawa dan mantra-mantar Jawa yang tidak ada terjemahannya. Sehingga bagi yang kurang paham akan kebingungan dengan makna di balik kata-kata tersebut. 8. Amanat Jangan melihat orang dengan sebelah mata, namun lihatlah orang dari dalam dirinya. Dan jangan mudah dibodohi dan terhasut oleh orang lain. Ikutilah perkembangan jaman agar tidak mudah dibodohi oleh orang lain. Unsur Ekstrinsik Novel Ronggeng Dukuh Paruk Selain unsur intrinsik novel ronggeng dukuh paruk akan dijelaskan juga unsur ekstrinsik novel tersebut yaitu adalah 1. Nilai Keagamaan Novel ini tidak diperlihatkan nilai keagamaan adat di dukuh paruk lebih mempercayai adanya nenek moyang dan hal-hal animisme lainnya. 2. Nilai Sosial Unsur kemasyarakatan lebih cenderung ke arah ronggeng karena segala sesuatu yang berhubungan dengan antar manusia. Lebih mengutamakan ronggeng dan itu merupakan kebanggaan masyarakat di sana. 3. Nilai Ekonomi Di novel ini sering diceritakan kemiskinan masyarakat Dukuh Paruk. Yang digambarkan terletak di tengah-tengah pematang sawah namun kering kerontang. 4. Nilai Budaya Budaya ronggeng merupakan budaya dari khas desa tersebut dan menjadikan suatu kebanggaan masyarakat di sana Akhir Kata Nah, itu dia penjelasan mengenai unsur intrinsik novel ronggeng dukuh paruk beserta unsur ekstrinsiknya. Jika kamu merasa artikel ini sangat bermanfaat yuk share artikel ini di medis sosial kesayanganmu.
B ANALISIS STRUKTUR. v Tema cerita. Tema dalam novel "Ronggeng Dukuh Paruk (Catatan Buat Emak) ini adalah mengenai kehidupan ronggeng di daerah Jawa yaitu Dukuh Paruk. v Setting cerita. Bertempat di Dukuh Paruk daerah Jawa. v Penokohan. 1) Srintil; gadis yatim piatu yang dipercaya sebagai titisan Ki Secamenggala. Dia ronggeng kebanggaan Sinopsis novel Ronggeng Dukuh Paruk menceritakan kehidupan di desa kecil bernama Dukuh Paruk. Diceritakan dalam novel, kebudayaan ronggeng secara mendetail yang membuat buku ini sangat menarik untuk dibaca. Penulis menggambarkan cerita sesuai dengan realita yang terjadi di tahun tersebut. Perpaduan budaya dengan fiksi membuat buku ini semakin bagus. Resensi Novel Ronggeng Dukuh Paruk Adapun resensi novel Ronggeng Dukuh Paruk lengkap sebagai berikut 1. Identitas Novel Ronggeng Dukuh Paruk Judul NovelDukuh ParukPenulisAhmad TohariJumlah halaman408 HalamanUkuran buku15 cm x 21 cmPenerbitGramedia Pustaka UtamaKategoriBuku FiksiTahun Terbit1982 2. Sinopsis Novel Ronggeng Dukuh Paruk Sinopsis novel Ronggeng Dukuh Paruk menceritakan kehidupan di dukuh kecil dan terpencil. Dulunya, Dukuh Paruk memiliki nenek moyang yang menjadi orang kepercayaan masyarakat. Setelah nenek moyangnya meninggal, penduduk desa Dukuh Paruk masih memujanya dengan cara memuja kuburannya. Bahkan, kuburan nenek moyangnya dijadikan sebagai kiblat kebatinan kepercayaan mereka. Tokoh utama dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk yaitu Srintil. Ia adalah sesosok gadis kecil yang berusia sebelas tahun. Tetapi, ia mempunyai masa lalu yang menyedihkan. Meski begitu, Srintil mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Srintil dapat menari seperti seorang ronggeng. Di suatu waktu terdapat tiga anak laki-laki yang mencabut batang singkong di tanah kapur yaitu Warta, Dasun, dan Rasus. Sesudah berhasil mencabut singkong, mereka mengupasnya dengan gigi. Sekita, mereka terkesima melihat Srintil yang sedang mendendang sambil menari dengan sangat asyik. Ketiga lelaki itu kemudian ikut menari bersama Srintil. Srintil tinggal bersama kakeknya yang bernama Sakarya. Beliau sangat menyayangi cucunya itu, terlebih saat orangtuanya Srintil meninggal. Kakeknya yang merawat Srintil. Saat itu, Sakarya juga mengikuti gerakan Srintil sangat menari, sungguh Kakek sangat bangga saat melihat cucunya menari dengan gemulainya. Kakeknya pun berpendapat bahwa Srintil sudah dirasuki oleh Indang Ronggeng. Keesokan harinya Kakek menemu dukung ronggeng di Dukuh Paruk yaitu Kertareja. Mereka membicarakan kepandaian Srintil dalam menari dan menyanyi ronggeng. Dalam waktu beberapa hari Kartareja dan Sakarya selalu mengikuti Srintil. Kemudian, mereka mengintip Srintil yang sedang menari di bawah pohon nangka. Kemudian, Kakek Sakarya menyerahkan Serintil kepada Kertareja sebagai salah satu syarat perihal menjadi calon ronggeng di Dukuh Paruk. Sejak dua belas tahun yang lalu, Ronggeng Dukuh Paruk sudah mati. Banyak perkakas untuk mengiringi pementasan ronggeng yang sudah hampir rusak. Kini, pementasan ronggeng dimulai kembali dengan penari baru yaitu Srintil. Saat pementasan Srintil didandani oleh Nyi Kertareja, alhasil Srintil tampil layaknya ronggeng. Tidak lupa, Nyi Kertareja meniupkan mantra ke pekasi ubun-ubun Srintil. Mantra tersebut bertujuan untuk memberikan aura kecantikan kepada Srintil. Selain itu, Nyai Sakarya juga memasangkan susuk emas di tubuh Srintil. Masyarakat Dukuh Paruk sangat antusias menonton ronggeng, Kartareja bersuara bahwa akan diadakan pertunjukan ronggeng. Dengan suara gemuruh warga, Srintil melenggak lenggok selayaknya seorang ronggeng. Srintil menunjukan penampilan yang sangat apik dengan kemampuan menarinya yang memang sangat gemulai, berbeda dari penari lainnya. Rasus ikut menonton pertujuan Srintil menari. Sebagai sahabatnya sejak kecil, Rasus memang sudah lama menyimpan rasa suka kepada Srintil. Kini, ia mulai merasa bahwa Srintil sudah tidak memperhatikan Rasus lagi. Rasus menyadari bahwa Srintil tidak akan menjadi miliknya seutuhnya karena Srintil menjadi milik orang banyak untuk menjadi ronggeng Dukuh Paruk agar kebudayaan di desa kecil ini tidak hilang. Akhirnya, Rasus pun memberikan keris kyai Jaran Guyang kepada Srintil agar ia memang menjadi seorang ronggeng yang seutuhnya. 3. Kelebihan Novel Ronggeng Dukuh Paruk Kelebihan novel Ronggeng Dukuh Paruk yaitu memuat banyak sekali nilai-nilai moral untuk para pembacanya. Penulis Ahmad Tohari mengkisahkan nilai kemanusiaan untuk menghormati perempuan. Dengan menggambarkan tokoh utama Srintil sebagai sisi semangat perempuan untuk keluar dari hitamnya zaman saat itu. Dimana saat itu, perempuan harus diperbudak untuk memenuhi hawa nafsu lelaki. Perempuan juga dikekang dalam memilih jalan hidupnya sendiri. Selain itu, penulis juga menggambarkan tokoh perempuan dengan sangat detail dari segala bentuk kesengsaraan yang dialami perempuan di jaman itu. Kelebihan dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk juga mengajarkan pembaca untuk selalu mengingat sejarah di masa lalu. Sejarah tidak selalu bernilai bagus sehingga sejarah yang buruk tidak sebaiknya diulang di masa kini dan masa depan. 4. Kekurangan Novel Ronggeng Dukuh Paruk Adapun kekurangan dalam sinopsis novel Ronggeng Dukuh Paruk yaitu penulis menceritakan isi novel dengan cukup bertele-tele. Kemudian sisipan suasana di desa juga diceritakan sangat detail, tetapi keluar dari alur cerita novel. Dengan begitu cerita novel memang menjadi tidak konsisten bahkan jenuh untuk dibaca. Penulis juga cukup banyak menggunakan kata-kata kasar yang seronok sehingga kurang pas saat novel ini dijadikan bahan bacaan edukasi. 5. Unsur Intrinsik Novel Ronggeng Dukuh Paruk Berikut ini unsur intrinsik novel Ronggeng Dukuh Paruk yang membangun cerita menjadi lebih menarik. Tema Tema dalam novel Ronggeng Dukuh paruk yaitu kebudayaan. Menceritakan kehidupan ronggeng secara mendetail yang memang menjadi adat kebudayaan di desa Dukuh Paruk. Tokoh Srinti, sabar dan mempunyai semangat penyayang dan keras dan Sakarya, penyayang, sabar, dan penyayang dan Kertareja, licik dan lelaki hidung baik dan bijaksana. Latar Tempat Dukuh Srintil. Alur Alur dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk yaitu alur campuran. Penulis menggambarkan cerita melaju ke masa depan dan masa lalu. Sudut Pandang Sudut pandang yang digunakan dalam novel ini yaitu orang pertama serba tahu. Ditandai dengan adanya penggunaan kata “aku” di dalam novel. Amanat Amanat yang terkandung di dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk yaitu sebagai seorang perempuan harus menjaga kesuciannya sebelum menikah. Sebagai umat manusia yang berketuhanan maka sebaiknya mempercayai adanya Tuhan, bukan hal-hal yang bersifat negatif dan tahayul. Apabila kita mempunyai keterbatasan pemahaman maka hidup kita tidak akan maju. Penulis juga menuliskan amanat untuk selalu sabar dan ikhlas dalam menjalani kehidupan. Diksi Penulis menggunakan diksi yang sederhana dan ringan, seperti bahasa sehari-hari. Tetapi, terdapat juga penggunaan majas Simile sehingga membuat bahasa dalam novel semakin bagus. 6. Unsur Ekstrinsik Novel Ronggeng Dukuh Paruk Adapun unsur ekstrinsik novel Ronggeng Dukuh Paruk yang membuat ceritanya semakin bagus. Nilai Politik Nilai politik yang tersirat dalam cerita novel yaitu keprihatinan dengan sikap kesewenangan kekuasaan orang-orang yang berkedudukan tinggi dalam menindas masyarakat kecil. Nilai Sosial Tersirat pula nilai sosial dalam novel yang memberikan pemahaman bahwa kesadaran seseorang terhadap nilai kemanusiaan masih kurang. Sesama manusia tentu kita harus saling menghargai. Nilai Ekonomi Nilai ekonomi yang terdapat dalam novel yaitu menggambarkan kehidupan kemiskinan yang terjadi di daerah terpencil. Daerah tersebut membutuhkan perhatian dari pemerintah. Nilai Moral Nilai moral yang tersirat dalam novel yaitu janganlah sombong saat kita sudah sudah, jangan melakukan hal yang tidak baik untuk mencapai kesuksesan. 7. Pesan Moral Novel Ronggeng Dukuh Paruk Pesan moral yang tersirat dalam sinopsis novel Ronggeng Dukuh Paruk yaitu sebagai seorang wanita kita harus mempunyai harga diri yang tinggi. Kebudayaan di jaman dahulu memang bagus dan tidak boleh dihilangkan, tetapi ambilah hal yang positif dan buang hal-hal yang bersifat negatif. KIyIY.
  • 47hc5j97sn.pages.dev/390
  • 47hc5j97sn.pages.dev/587
  • 47hc5j97sn.pages.dev/220
  • 47hc5j97sn.pages.dev/259
  • 47hc5j97sn.pages.dev/558
  • 47hc5j97sn.pages.dev/210
  • 47hc5j97sn.pages.dev/189
  • 47hc5j97sn.pages.dev/14
  • struktur novel ronggeng dukuh paruk